Kamis, 05 Mei 2011

ANALISIS CERPEN "SANG BAYU" KARYA ANJAR HANG

BAB 1
PENDAHULUAN

Pada hakitanya sebuah karya sastra adalah replika kehidupan nyata. Walaupun berbentuk fiksi, misalnya cerpen, novel, dan drama, persoalan yang disodorkan oleh pengarang tak terlepas dari pengalaman kehidupan nyata sehari-hari. Hanya saja dalam penyampaiannya, pengarang sering mengemasnya dengan gaya yang berbeda-beda dan syarat pesan moral bagi kehidupan manusia.
Taum (1997:15) mengatakan bahwa karya sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan yang memiliki dimensi personal dan social sekaligus. Dalam sastra pengalaman dan pengetahuan kemanusiaan tidak sekedar dihindarkan begitu saja, melainkan secara fundamental mengndung gagasan estetis. Artinya bahwa sebuah karya mengungkapkan dan menjelaskan tentang persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia dengan menambahkan unsure-unsur estetis (keindahan) serta kreatifitas pengarang.
Psikologi dalam dunia sastra kini sedang berkembang. Kemunculan psikologi sendirir dalam dunia sastra bukan tanpa sebab melaina adanya beberapa factor. Pertama, ilmu psikologi dibutuhkan dalam sastra untuk mengkaji aspek psikologi pengarang. Pembaca serta tokoh-tokoh rekaan dalam karya sastra itu sendiri. Kedua, karena adanya unsure-unsur psikologi dalam sastra dan menghubungkannya dengan teori psikoanalisisnya yang terkenal dengan ide, ego, dan super ego (Endraswara, 2008: 1)
Sastra dan psikologi mempunyai hubungan yang erat. Hal ini dikarenakan antara ilmu sastra dan ilmu psikologi sama-sama menjadikan manusia sebagai objek kajia. Hal ini berdasarkan apa yang dikatakan oleh Endraswara (2006:97) bahwa karya sastra dan psikologi memiliki keterkaitan yang erat.
Aspek psikologi dalam sastra dapat dilihat dari aspek yaitu: aspek psikologi pengarang, aspek psikologi pembaca dan aspek psikologi tokoh. Dari ketiga aspek psikologi tokoh adalah aspek yang paling mudah dikaji. Karena aspek psikologi tokoh dititik beratkan pada tokoh yang ada dalam karya tersebut. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa antara psikologi dan sastra memiliki hubungan tidak langsung dan fungsional. Sebab sastra dan psikologi sama-sama berangkat dari kejiwaan manusia.
Dalam ilmu psikologi manusia dipelajari secara ilmiah atau riil sedenga dalam sastra manusia dipelajari dalam bentuk imajinasi. Manusia dalam psikologi mengalami beberapa perubahan diantaranya : perubahan dengan seorang bayi menjadi anak-anak kemudian menjadi remaja berkembang lagi menjadi dewasa kemudian tua hingga akhirnya mati. Pada setiap perubahan manusia mengalami perkembangan secara psikologi. Dalam hal ini perubahan yang sangat menentukan terjadi pada saat manusia menjadi seorang remaja karena dalam masa ini manusia mengalami perkembangan dari aspek psikologi dan fisik. Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Mappiare, 1982:14) bahwa remaja perlu adanya perhatian, pengertian dan pemahaman (pendidikan dan pembimbing) terhadap seluk beluk kejiwaan agar mereka mencapai tujuan lebih baik sebagai penerus bangsa.


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Sastra
Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan tidak dapat dilihat sebagai susuai yang statis tetapi merupakan sesuatu yang dinamis, senantiasa berubah. Pengkajian kebudayaan dapat dilakukan melalui karya sastra.
Panuti Sudjiman (1986 : 68), mendefinisikan sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya.
Sumarno dan Saini, sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat, keyakinan, dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa.

2.2 Psikologi
Secara etimologis, psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau nafas hidup, dan “logos” atau ilmu. Dilihat dari arti kata tersebut seolah-olah psikologi merupakan ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jika kita mengacu pada salah satu syarat ilmu yakni adanya obyek yang dipelajari, maka tidaklah tepat jika kita mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa, karena jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak bisa diamati secara langsung.
• Williams James (1890) mendefinisikan psikologi sebagi ilmu yang mempelajari kehidupan mental, james menekankan pentingnya unsur-unsur subyektif atau kemanusiaan yang tidak dapat diterima oleh indera manusia.
• John Watson (1919) menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang mengkaji perilaku secara obyektif dan dapat diterima oleh indera manusia yang lain.
• Feldman(1999) menyatakan psikologi adalah studi ilmiah tentang perilaku dan proses mental manusia.
Secara umum psikologi dapat diartikan sebagi ilmu yang menggunakan prinsip-prinsip ilmiah untuk mempelajari perilaku manusia baik perikalu yang terlihat, seperti makan, minum, berjalan, tidur, bekerja dan bicara maupun perilaku yang tidak dapat dilihat seperti berfikir, emosi dan imajinasi.

2.3. Sastra Dan Psikologi
Sebuah karya sastra dikatakan sebgai sebuah cermin dari masyarakat dimana karya sastra itu dilahirkan. Dalam kehidupan sehari-hari manusia adalah tokoh pelaku yang menjalankan kehidupan itu sendiri. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang rumit dan kompleks dengan segala permasalahan-permasalahan itulah yang oleh pengarang dijadikan sebuah karya sastra yang mampu mewakili kondisi pada saat karya sastra tersebut ada.
Endraswara (2006:96) menyatakan bahwa karya sastra adalah produk kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi tertentu yang kemudian dituangkan bentuk proses imajinasi pengarang. Hal tersebut sejalan dengan ungkapan bahwa sebuah karya sastra selalu dilatarbelakangi oleh kehidupan masyarakat maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupanya atau zaman pada saat sastra diciptakan (Aminuddin, 1987:46). Dengan demikian maka sebuah karya sastra dapat dikaji dari berbagai aspek kehidupan karena cakupannya termasuk dikaji dari segi psikologi.
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sastra sebagai aktifitas kejiwaan. Dalam psikologi sastra menganggap bahwa sastra adalah sebuah pantulan kejiwaan. Pengarang menangkap gejala jiwa kemudian diolah kedalam teks yang dilengkapi dengan kejiwaannya sendiri. Karya sastra psikologi akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh sesuai dengan yang diungkapkan Jatmen dalam Endraswara(2003:97) bahwa karya sastra dan psikologi memang memiliki pertautan yang erat secara tidak langsung karena baik sastra maupun psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsionl karena semata-mata untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain.
Demikian sastra dan psikologi memeang memiliki landasan yang kokoh, karena baik sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari hidup manusia. Bedanya sastra mempelajari manusia sebagai ciptaa imajinasi pengarang, sedangkan psikologi mempelajari tentang manusia sebagai ciptaan illahi secara riil. Namun demikian sifat-sifat manusia dalam psikologi maupun sastra sering menunjukkan kemiripan. Sehingga psikologi sastra memang tepat dilakukan (Endraswara, 2003:99)
Psikologi sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologi praktis. Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra, meskipun demikian bukan berarti bahwa analisis psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat.

2.4. Remaja
Masa remaja adalah masa yang paling indah, paling menyedihkan, masa yang paling dikenang, dan juga masa yang ingin dilupakan. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa, atau masa belasan tahun atau masa seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya(Sarwono, 2007: 2)
Mappiare(1982:12) beraggapan bahwa remaja adalah manusia yang paling berpotensi karena remaja penuh dengan vitalitas, semangat pratriotis, harapan penerus bangsa. Sejarah telah mencatat betapa negara ini telah disusun di atas jerih payah bahkan pengorbanan jiwa remaja Indonesia ”tempo doeloe”.
2.4.1 Ciri-Ciri Masa Remaja
Ciri-ciri masa remaja menurut ahli psikologi remaja Hurlock (1992). Masa remaja mempunyai ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya:
Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1992), antara lain :
a. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
b. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan.
d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.
e. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua menjadi takut.
f. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.
g. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks.
h. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.
Disimpulkan adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja, kecenderungan remaja akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan penuh tanggung jawab. http://duniapsikologi.dagdigdug.com/ciri-ciri-remaja/(diposting tanggal 03 Desember 2008)

2.4.2.Batas Usia Remaja
Batas Usia Remaja Menurut Kartono (1990), dibagi tiga yaitu :
1. Remaja Awal (12-15 Tahun)
Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun sebelum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Selain itu pada masa ini remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa.
2. Remaja Pertengahan (15-18 Tahun)
Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis.
Maka dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal maka pada rentan usia ini mulai timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja menemukan diri sendiri atau jati dirnya.


3. Remaja Akhir (18-21 Tahun)
Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya.

2.4.3.Perkembangan Psikologi Remaja
Perkembangan psikologi remaja ada lima macam yaitu:
1. Perkembangan Kepribadian
Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Secara psikologi kedewasaan bukan hanya sekedar tercapainya umur tertentu tetapi berupa keadaan yang sudah terdapat ciri-ciri psikologi tertentu pada individu.
Tahap anak-anak bayi adalah tahap dimana yang eksistensinya semata-mata berupa heriditas, dorongan-dorongan primitive dan refleks. Bayi belum memikili sifat-sifat khusus yang kemudian baru muncul ketika telah terjadi transaksi-transaksi dengan lingkungan, kekhasan adalah akibatnya. Pada saat lahir bayi memang telah dibekali dengan potensi-potensi fisik dan mental namun demikian pemenuhannya masih menunggu proses pertumbuhan dan pematangan. Terdapat fakta bahwa pada waktu lahir seseorang belum memiliki kualitas khusus yang kelak akan membentuk kepribadiannya. Keadaan ini sudah mulai berubah sejak dini secara berangsur-angsur, bahkan dalam tahun pertama kehidupan (Hall dan Lidzey, 1993:41-42)

2. Perkembangan Intelegensi
Intelegensi adalah kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara teratur dan terarah serta mampu mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Dalam intelegensi mengandung unsur pikiran(kognisi) atau rasio. Semakin banyak unsur rasio yang harus digunakan dalam suatu tindakan atau tingkah laku, semakin berintelegensi tingkah laku tersebut.
Perkembangan kognitif mengikuti prinsip penyesuaian terhadap lingkungan yang bersangkut paut dengan tujuan dan perjuangan hidup (Sarwono, 2007:80)

3. Perkembangan Peran Sosial
Peran sosial adalah konflik yang mengakibatkan terjadinya gejolak emosi. Di satu pihak ia sudah ingin mandiri sebagai orang dewasa, di lain pihak ia masih harus terus mengikuti kemauan orang tua(Sarwono, 2007:84)
Kebanyakan orang tua memperlakukan remaja sebagai anak-anak sehingga para orang tua merasa berhak mengatur dan mengarahkan jalannya kehidupan anak mereka. Tak jarang pula orang tua juga memperlakukan remaja sebagai orang dewasa anak-anak diberitanggungjawab sebagai orang dewasa. Ketidak konsistenan orang dewasa atau orang tua inilah yang menyebabkan terjadinya konflik peran sosial dalam diri remaja, mereka bingung dalam menempatkan dirinya apakah sebagai anak atau sebagai dewasa.

4. Perkembangan Peran Gender
Gender merupakan istilah pembeda antara dua hal seperti lelaki dan perempuan, maka dalam hal ini remaja dituntut untuk berperan sosial dengan gendernya masing-masing. Dengan perkembangan remaja tidak pernah murni berdiri sendiri, mereka terpengaruh oleh lingkungan, yang nanti akan menuntun mereka pada gender yang akan dikehendaki.
Dalam kehidupan nyata terdapat beberapa pertimpangan gender seperti ada anak lelaki yang mempuntai sifat gemulai dan juga ada perempuan yang tomboy dia bertubuh perempuan tapi bersifat layaknya lelaki. Hal ini terjadi karena dalam diri seseorang atau individu terdapat dua sifat sekaligus yaitu sifat kelaki-lakian dan kewanitaan maka dalam perkembangan dua sifat tersebut akan ditentukan salah satu sifat yang dominan yang berkembang pada diri individu (Sarwono, 2007: 89)

5. Perkembangan Moral Dan Religi
Moral dan religi merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan religi bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa. Dengan begitu ia tidak melakukan tindakan atau hal-hal yang dapat merugikan atau bertentangan dengan kehendak dan pandangan masyarakat.
Religi yaitu kepercayaan terhadap kekuasaan suatu zat yang mengatur alam semesta ini adalah sebagian dari moral, sebab dalam modal sebenarnya diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik sehingga perlu dihindari. Agama, oleh karena mengatur juaga tingkah laku baik-buruk, secara psikologi termasuk dalam moral. Hal lain yang termasuk dalam moral adalah sopan santun, tata karma dan norma-norma masyarakat lain.

2.5. Tokoh Dan Penokohan
Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pada pengertian yang hampir sama.
Istilah “tokoh” menunjukan pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menujuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan--menujuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak(-watak) tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti yang dikatakan oleh Jones (1968:33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2005:165).
Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton, 1965:17 dan Burhan Nurgiyantoro, 2005:165).
Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981:20), adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut juga dapat kiketahui bahwa antar seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, pembacalah sebenarnya yang memberi arti semuanya.
Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh certa, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 2005:167).


BAB III
ANALISIS CERPEN

Penelitian terhadap sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu pendekatan terhadap pengarang(ekspresif), tokoh (tekstual), dan pembaca (pragmatik). Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan terhadap tokoh(tekstual). Pendekatan psikologi terhadap tokoh dalam karya sastra tidak akan terlepas dari kedudukan atau peran tokoh dalam karya sastra. Dalam sastra tokoh memiliki peranan yang berbeda-beda baik sebagai tokoh utama atau sebagai tokoh tambahan.
Penelitian ini mengkaji tentang psikologi remaja dalam cerpen “Sang Bayu” karya Anjar Hang yang bertujuan pertama mendeskripsikan remaja (tokoh utama remaja) dalam cerpen “Sang Bayu”. Kedua menganalisis perkembangan psikologi remaja dari aspek intelegensi dan peran sosialnya.
Dalam penelitian ini ada tokoh utama (remaja yang akan dianalisis aspek psikologinya) yaitu 1). Fhia, 2). Bayu, 3). Laras dan 4). Judit. Dari keempat tokoh tersebut dipilih berdasarkan kriteria tokoh utama yaitu tingkat kemunculan tokoh tesebut.

3.1. Analisis Deskripsi Remaja
Tokoh
Dalam analisis tokoh remaja dalam cerpen “Sang Bayu” ada empat tokoh yang menjadi pelaku dalam cerpen tersebut:
1. Fhia
Tokoh Fhia dalam cerpen tersebut merupakan remaja yang masih duduk dibangku sekolah, hal ini terlihat pada cuplikan berikut:
Cewek berambut cepak, sang ketua pelaksana ‘Malam Kesenian Antar Sekolah’ ini memang penuh perhatian.
Hal ini menunjukkan tokoh Fhia memang sebenarnya adalah masih seorang pelajar yang mempunyai rasa percaya diri dan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya.

2. Bayu
Tokoh Bayu dalam cerpen juga seorang remaja yang baru saja lulus sekolah. Hal ini tampak pada cuplikan berikut:
Saat kebingungan begitu, mendadak saja Fhia dikenalkan Boy, ketua OSISnya dengan seorang Bayu alumni sekolah tahu lalu yang langsung membantu menangani dekorasi.
Dari cuplikan diatas, tokoh Bayu adalah alumni sekolah setahun yang lalu, itu berarti bahwa tokoh Bayu juga menandakan bahwa ia juga masih remaja yang mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian.

3. Laras
Tokoh Laras dalam cerpen tersebut adalah teman dekat atau bisa dibilang sahabat karib tokoh Fhia di sekolah. Hal tersebut dapat dilihat dari cuplikan berikut:
Fhia nggak tahan buat tersenyum. Mata bayi itu jadi mirip sungguhan kalau sudah mengharap begitu. Segera dirangkulnya salah satu anak buahnya sekaligus sobatnya itu.
Dalam cuplikan diatas menandakan bahwasanya tokoh Laras merupakan sahabat tokoh Fhia, yang artinya bahwa ia juga termasuk remaja yang masih duduk dibangku sekolah

4. Judit
Tokoh Judit dalam cerpen tersebut juga merupakan siswa sekolah. Hal ini terlihat dari cuplikan berikut:
Mendadak Fhia menghentikan pekerjaannya. Dipandanginya gadis berkaca mata minus dua, teman sekelasnya itu. Sementara Judit tetap serius menumpukkan pasangan roti-roti yang telah dioleskan mentega.
Dari cuplikan diatas dapat dketahui bahwa tokoh Judit yang juga sama-sama teman sekelas Fhia.

3.2. Perkembangan Psikologi Remaja
Perkembangan psikologi remaja pada tokoh cerpen tersebut berkembang pada aspek perkembangan intelegensi. Yang mana kemampuan seorang individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta mampu mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Selain itu perkembangan peran sosial juga berperan, dimana dalam tokoh-tokoh cerpen tersebut terdapat konflik emosi yang terhadap teman-teman yang lain.
Hal ini dapat terlihat dalam tokoh-tokoh cerpen berikut:
1. Fhia
Tokoh Fhia dalam cerpen menujukkan bahwa Fhia seorang individu yang memiliki tingkat intelegensi, dimana ia dapat bertindak serta mampu menjadi ketua dalam subuah acara disekolahnya tersebut. Hal ini dapat terlihat dari cuplikan cerpen berikut:
Cewek berambut cepak, sang ketua pelaksana ‘Malam Kesenian Antar Sekolah’ ini memang penuh perhatian. Bukan saja pada Bayu, tetapi kepada semua panitia yang lain. Nggak enak juga kalau apa yang dikatakan Fhia barusan dianggap angin lalu. Fhia benar-benar tulus memperhatikan anak buahnya.
Dari cuplikan diatas, dapat diketahui tokoh Fhia adalah seorang individu yang memiliki intelegensi, dimana dia dapat bertindak serta mampu menjadi ketua pelaksana Malam Kesenian Antar Sekolah.

2. Bayu
Tokoh Bayu dalam cerpen adalah seorang individu yang memiliki intelegensi atau kemampuan dalam bidang seni lukis, ia juga mempunyai aspek social terhadap lingkungannya seperti bertanggung jawab terhadap tugas yang telah diberikan kepadanya. Hal ini terlihat pada cuplikan cerpen berikut:
Di aula terlihat sang peluis tengah asyik menyelesaikan tugasnya. Sebagai seksi dekorasi, Bayu memang bertanggung jawab sekali menyelesaikan tugas yang sudah ia sanggupi. Keahliannya di bidang seni lukis memudahkan pekerjaannya agar cepat selesai.
Dari cuplikan cerpen diatas diketahui bahwa selain memiliki keahlian di bidang seni lukis, Bayu juga dapat bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang telah diberikan kepadanya

3. Laras
Dalam cerpen tersebut tokoh Laras tidak begitu detail dijelaskan, karena tokoh Laras hanya tergolong sebagai tokoh tambahan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan cuplikan berikut:
“Bayu tidur di sekolah lagi?” Tanya Laras setelah membenahi napasnya yang rada tersengal-sengal. Fhia cuma mengangguk.
“Kalau gitu aku boleh…..”
“Nggak deh. Kemarin kan kesalahanku aja. Nggak ngasih tau dulu ke mereka. Hari ini aku udah bilang sekalian ijin kok,” cerocos Laras mencoba menyakinkan Fhia” Sang ketua pelaksana pura-pura berfikir, “Please, Fhi……,” Laras sungguh-sungguh berharap.
Cuplikan lainya juga terlihat pada:
Ya ampun. Di cariin ternyata di sini,” seru suara centil milik Laras yang mendadak muncul di depan pintu. Kedua makhluk yang sudah lebih dahulu berada di dalam mendadak diam. Mereka Cuma bisa tersenyum.
“Anak-anak pada mau sekolah dulu tuh. Yang masuk sore, pada mau pulang dulu,” Laras duduk di pinggiran meja seraya mencomot setangkap roti.
Dari cuplikan di atas dapat dibuktikan bahwasanya tokoh Laras tidak begitu banyak muncul dalam dialog, sehingga bisa dikatakan sebagai tokoh tambahan saja.

4. Judit
Tokoh Jadit adalah tokoh yang protaginis, karena di dalam cerpen ini dijelaskan dia memiliki masalah batin dengan temannya. Dan psikologis Jadit saat itu dalam keadaan emosi dan tidak labil.
Hal itu dapat dilihat dari kutipan cerpen di bawah ini :
“Sebel!” Judit melipat tangannya. Mukanya ditekuk. Merengut,
“Lho kenapa?” Fhia menyeruput teh yang dia buat sendiri.
“Laras. Dia ternyata naksir Bayu beneran. Mulai cari muka lagi,” umpat Judit jengah.
Fhia menahan senyum. Dit, Bayu itu baik pada semua orang. Termasuk Laras dan aku.”
“Tapi, itu berarti gua saingan dong dengan dia.”
Dari bukti cuplikan cerpen di atas dapat dibuktikan bahwasanya tokoh Judit adalah tokoh yang protagonist, karena disini dia memiliki masalah dengan temannya dan Judit marah dengan temannya itu tadi.


BAB IV
PENUTUP

Simpulan
Penelitian ini mengkaji tentang psikologi remaja dalam cerpen “Sang Bayu” karya Anjar Hang yang bertujuan pertama mendeskripsikan remaja (tokoh utama remaja) dalam cerpen “Sang Bayu”. Kedua menganalisis perkembangan psikologi remaja dari aspek intelegensi dan peran sosialnya.
Analisis pendeskripsian remaja
1. Fhia
Tokoh Fhia dalam cerpen tersebut merupakan remaja yang masih duduk dibangku sekolah, hal ini terlihat pada cuplikan berikut:
Cewek berambut cepak, sang ketua pelaksana ‘Malam Kesenian Antar Sekolah’ ini memang penuh perhatian.

2. Bayu
Tokoh Bayu dalam cerpen juga seorang remaja yang baru saja lulus sekolah. Hal ini tampak pada cuplikan berikut:
Saat kebingungan begitu, mendadak saja Fhia dikenalkan Boy, ketua OSISnya dengan seorang Bayu alumni sekolah tahu lalu yang langsung membantu menangani dekorasi.

3. Laras
Tokoh Laras dalam cerpen tersebut adalah teman dekat atau bisa dibilang sahabat karib tokoh Fhia di sekolah. Hal tersebut dapat dilihat dari cuplikan berikut:
Fhia nggak tahan buat tersenyum. Mata bayi itu jadi mirip sungguhan kalau sudah mengharap begitu. Segera dirangkulnya salah satu anak buahnya sekaligus sobatnya itu.


4. Judit
Tokoh Judit dalam cerpen tersebut juga merupakan siswa sekolah. Hal ini terlihat dari cuplikan berikut:
Mendadak Fhia menghentikan pekerjaannya. Dipandanginya gadis berkaca mata minus dua, teman sekelasnya itu. Sementara Judit tetap serius menumpukkan pasangan roti-roti yang telah dioleskan mentega.

Perkembangan Psikologi Remaja
1. Fhia
Tokoh Fhia dalam cerpen menujukkan bahwa Fhia seorang individu yang memiliki tingkat intelegensi, dimana ia dapat bertindak serta mampu menjadi ketua dalam subuah acara disekolahnya tersebut. Hal ini dapat terlihat dari cuplikan cerpen berikut:
Cewek berambut cepak, sang ketua pelaksana ‘Malam Kesenian Antar Sekolah’ ini memang penuh perhatian. Bukan saja pada Bayu, tetapi kepada semua panitia yang lain. Nggak enak juga kalau apa yang dikatakan Fhia barusan dianggap angin lalu. Fhia benar-benar tulus memperhatikan anak buahnya.

2. Bayu
Tokoh Bayu dalam cerpen adalah seorang individu yang memiliki intelegensi atau kemampuan dalam bidang seni lukis, ia juga mempunyai aspek social terhadap lingkungannya seperti bertanggung jawab terhadap tugas yang telah diberikan kepadanya. Hal ini terlihat pada cuplikan cerpen berikut:
Di aula terlihat sang peluis tengah asyik menyelesaikan tugasnya. Sebagai seksi dekorasi, Bayu memang bertanggung jawab sekali menyelesaikan tugas yang sudah ia sanggupi. Keahliannya di bidang seni lukis memudahkan pekerjaannya agar cepat selesai.

3. Laras
Dalam cerpen tersebut tokoh Laras tidak begitu detail dijelaskan, karena tokoh Laras hanya tergolong sebagai tokoh tambahan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan cuplikan berikut:
“Bayu tidur di sekolah lagi?” Tanya Laras setelah membenahi napasnya yang rada tersengal-sengal. Fhia cuma mengangguk.
“Kalau gitu aku boleh…..”
“Nggak deh. Kemarin kan kesalahanku aja. Nggak ngasih tau dulu ke mereka. Hari ini aku udah bilang sekalian ijin kok,” cerocos Laras mencoba menyakinkan Fhia” Sang ketua pelaksana pura-pura berfikir, “Please, Fhi……,” Laras sungguh-sungguh berharap.

4. Judit
Tokoh Jadit adalah tokoh yang protaginis, karena di dalam cerpen ini dijelaskan dia memiliki masalah batin dengan temannya. Dan psikologis Jadit saat itu dalam keadaan emosi dan tidak labil.
Hal itu dapat dilihat dari kutipan cerpen di bawah ini :
“Sebel!” Judit melipat tangannya. Mukanya ditekuk. Merengut,
“Lho kenapa?” Fhia menyeruput teh yang dia buat sendiri.
“Laras. Dia ternyata naksir Bayu beneran. Mulai cari muka lagi,” umpat Judit jengah.


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Elizabeth, Hurlock B. 1980. Developmental Psychology. New York. Mc.Graw Hill Book Company. Inc.
Hall, Calvins. 1993. Teori-teori Sifat dan Sifat Bahavioristik. Terjemahan Supratiknya. Yogyakarta: Kanius.
Jones, Edward H. 1968. Outlines of Literatur: Short Stories, Novels, and Poems. New York: The Macmillan Company
Nurgiantoro, Burhan. 1990. Kajian Interstektual dalam Sastra Perbandingan, Cakrawala Pendidikan. No.3, Th X hlm.45-59
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest. 1992. (penyunting) serba-serbi semiotika. Jakarta: Gramedia

ANALISIS UNSUR INSTRINSIK CERPEN "MATA SULTONI" KARYA ADEK ALWI

BAB 1
PENDAHULUAN

Pada hakikatnya cerita pendek, atau yang lebih populer dengan akronim cerpen, merupakan salah satu jenis fiksi yang paling banyak ditulis orang. Hampir setiap media massa yang terbit di Indonesia menyajikan cerpen setiap minggu. Majalah-majalah hampir selalu memuat satu atau dua cerpen. Seolah-olah tanpa memuat cerpen, isi majalah itu tidak lengkap. Bahkan, pemancar-pemancar radio siaran juga mempunyai rubrik cerpen yang diasuh secara berkala. Seolah-olah cerpen telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Cerpen mempunyai pembaca dan pendengar yang disiarkan melalui radio. Bukan tidak mungkin ada penggemar berat cerpen. Ini terbukti dengan adanya penerbit yang sengaja menerbitkan kumpulan cerpen berbentuk majalah secara berkala dan mampu terbit terus-menerus.
Banyak orang mendefinisikan cerita pendek. Mencari hakekat cerita pendek tak bisa ditemukan dengan sebuah definisi, akan tetapi dengan perbandingan-perbandingan orang lebih mudah memahami sebuah hakekat cerita pandek. Hanya dengan melihat fisiknya dan bentuknya yang pendek saja orang tidak bisa menetapkan bahwa itu sebuah cerpen.
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas mengatakan bahwa cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.
Menurut Aoh. KH, (2008 : 24 – 25 ), mendefinisikan bahwa cerpen adalah salah satu ragam fiksi atau cerita rekaan yang sering disebut kisahan prosa pendek. Dan masih banyak sastrawan yang merumuskan definisi cerpen. Rumusan-rumusan tersebut tidak sama persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain. Hampir semuanya menyepakati pada satu kesimpulan bahwa cerita pendek atau yang biasa disingkat cerpen adalah cerita rekaan yang pendek.
Sebagian orang mengatakan cerita pendek adalah cerita yang selesai dibaca 10 menit hingga setengah jam, atau sekali duduk di kereta api, atau terdiri dari kurang lebih 5000 kata, bahkan ada juga yang mendefinisikan hingga 30.000 kata. Sebagian orang lagi mengatakan cerpen adalah cerita yang berbentuk naratif. Jadi cerpen bukan argumentasi atau analisa atau deskripsi. Akan tetapi bentuk naratif yang pendek saja belum tentu cerpen. Bisa jadi hanya sebuah prosa, cerita fable, bahkan berita, sketsa,dan kisah perjalanan juga berbentuk naratif. Di dalamnya ada penuturan yang berurutan dan hidup, dan berdasarkan hal yang benar-benar ada. Sedangkan cerpen tidak bergantung sama sekali pada aktualitasnya. Cerpen adalah fiksi yang berarti ciptaan atau rekaan. Meskipun demikian sebuah cerpen harus berdasarkan realita.
Dalam mengalisis sebuah cerita pendek yang berjudul “Mata Sultani” terlebih dahulu akan dianalisis kelemahan dan kelebihannya.
Kelemahan cerpen berjudul “Mata Sultani” karya Adek Alwi ini, ada beberapa bagian yang tidak serta merta bisa langsung dipahami, kecuali mungkin dengan dibaca berulang-ulang, pada cerpen tersebut penulis tidak menceritakan secara detail penokohannya serta alurnya pun juga susah dipahami.
Kelebihan cerpen berjudul “Mata Sultani” karya Adek Alwi ini adalah dengan bahasa yang mudah pengarang dapat membuat pembaca penasaran akan cerita yang disajikan pada cerpen tersebut. Untuk itulah, sebagai salah satu upaya membantu memahami cerpen, saya bermaksud menganalisis cerpen dengan pendekatan struktural. Melalui pendekatan struktural, semoga pesan-pesan yang tersirat maupun yang tersurat dalam cerpen “Mata Sultani” dapat dipahami oleh pembaca cerpen tersebut serta dapat menggali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan tujuan penulis dalam menganalisis cerpen ini adalah selain ceritanya menarik juga banyak hal yang dapat kita pelajari dari cerpen tersebut.


BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Tema
Istilah tema muncul menurut Scarbach berasal dari bahasa Latin yang berarti “tempat meletakkan suatu perangkat”. Karena tema adalah ide yang mendasar suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang dipaparkannya (Aminuddin, 2000 : 91)
Menurut Holmon 1981:443 tema merupakan gagasan sentral yang mencakup permasalahan dalam cerita, yaitu suatu yang akan diungkapkan untuk memberikan arah dan tujuan cerita karya sastra.
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung didalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan” / perbedaan” menurut Hartoko dan Rahmanto (1986 : 142 )
Dari beberapa pengertian tema diatas, penulis lebih setuju dengan pendapat Holmon yang mengatakan bahwa tema merupakan gagasan sentral yang mencakup permasalahan dalam cerita, yaitu suatu yang akan diungkapkan untuk memberikan arah dan tujuan cerita karya sastra.

B. Pengertian Setting atau tempat peristiwa
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa – peristiwa yang diceritakan ( Abrams, 1981 : 175 )
Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis (Aminuddin, 2000: 67).
Setting juga mampu menuansakan suasana-suasana tertentu. Suasana tertentu akibat penataan setting oleh pengarangnya itu lebih lanjut juga akan berhubungan dengan suasana penuturan yang terdapat dalam suatu cerita, suasana penuturan itu sendiri dibedakan antara tone sebagai suasana penuturan yang berhubungan dengan sikap pengarang dalam menampilkan gagasan atau ceritanya dengan mood yang berhubungan dengan suasana batin individual pengarang dalam mewujudkan suatu cerita (Aminuddin, 2000:69)
Dari beberapa pengertian setting atau alur diatas, penulis lebih setuju dengan pendapat Aminuddin, 2000: 67 yaitu setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.

C. Pengertian Penokohan
Menurut Jones 1998:165 penokohan adalah gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Abrams ( 1981 : 20 ), penokohan adalah orang yang ditampikan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang di ekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Dari beberapa pengertian penokohan diatas, penulis lebih setuju dengan pendapat Menurut Jones 1998:165 yang berpendapat bahwa penokohan adalah gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

D. Pengertian Plot atau alur
Forster (1970), plot adalah peristiwa – peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.
Alur atau plot adalah suatu cerita yang saling berkaitan secara kronologis untuk menunjukkan suatu maksud jalan cerita yang ada (Dick Hartoko, 1948:149)
Adapun jenis alur bisa dibedakan atas kriteria urutan waktu adalah sebagai berikut:
 Alur lurus atau maju (progresif) yaitu peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis artinya peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa kemudian.
 Alur mundur atau sorot-balik (regresif) yaitu peristiwa-peristiwa yang dikisahkan tidak bersifat kronologis, ceriata tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah bahkan tahap akhir.
 Alur campuran kedua alur baik alur lurus maupun mundur.
Jadi sifat alur ada kalanya:
 Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita,di samping masalah dasar persoalan.
 Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita.
 Campuran keduanya.
Dari beberapa pengertian plot atau alur diatas, penulis lebih setuju dengan pendapat Dick Hartoko, 1948:149 yang mengataka bahwa alur atau plot adalah suatu cerita yang saling berkaitan secara kronologis untuk menunjukkan suatu maksud jalan cerita yang ada.


BAB III
ANALISIS CERPEN

2. Analisis unsur intrinsik cerpen “Mata Sultani” karya Adek Alwi
Berikut akan diuraikan analisis cerpen yang berjudul “Mata Sultani” dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan hubungan antar unsur instrinsik cerpen yang dimaksud.
2.1. Tema
Dari pengertian tentang tema diatas dapat dijelaskan bahwa tema yang diangkat dalam cerpen Mata Sultani adalah kehilangan. Dari permasalahan-permasalahan yang timbul sejak awal cerita sudah nampak jelas bahwa aku (dalam cerpen Mata Sultani) beserta kawan-kawan lainnya saling menanyakan keberadaan teman semasa kecilnya itu. Hal ini terlihat dari cuplikan cerpen berikut:

Kepada mereka, bila aku pulang ke kota kami selalu kutanyakan kawan-kawan masa kecil itu, tetapi tak banyak lagi kabar gembira aku peroleh. Kawan-kawan lama kami jarang pulang, bahkan banyak yang tidak pulang sejak merantau-belasan atau puluhan tahun yang silam. “Seperti ada dan tiada, Nius,” jawab Tum menampakkan senyum yang ganjil. Seperti orang-orang di dalam mimpi.”

“Bagaimana kabar Sultani? Di mana dia?” tanyaku pada kawan-kawan dikota kelahiran. Mereka menggeleng. “Itulah,” sahut Tum, kembali menampakkan senyum yang ganjil. “Banyak kawan kita serasa ada dan tiada, Nius. Bak orang-orang dalam mimpi. Tidak kecuali sultani.”

“Kepada kawan-kawan yang tiba dari rantau kami juga bertanya kalau-kalau mereka mendengar di mana Sultani, Nius. Tetapi mereka pun tidak tahu,” kata Amril, melihat aku tak henti menanyakan kawan masa kecil itu tiap pulang ke kota kelahiran.

Dari cuplikan cerpen diatas dapat disimpulkan bahwa tema pada cerpen tersebut adalah pencarian seorang teman yang hilang selama bertahun-tahun yang telah lama hilang dan bahkan tak kunjung pulang ke kampung halaman.

2.2. Setting atau Latar
Setting atau latar tempat peristiwa cerpen tersebut, berada pada sebuah kota kelahiran aku(Nius) dan kawan-kawannya. Hal tersebut dapat diamati berdasarkan cuplikan cerpen berikut:

Kepada mereka, bila aku pulang ke kota kami selalu kutanyakan kawan-kawan masa kecil itu, tetapi tak banyak lagi kabar gembira aku peroleh. Kawan-kawan lama kami jarang pulang, bahkan banyak yang tidak pulang sejak merantau-belasan atau puluhan tahun yang silam. “Seperti ada dan tiada, Nius,” jawab Tum menampakkan senyum yang ganjil. Seperti orang-orang di dalam mimpi.”
“Hanya si Cudik, si Talib dan si Tunik yang acap pulang. Paling tidak dua atau tiga tahun sekali ada mereka pulang,” tambah Amril, yang meneruskan usaha keluarga membuka kedai kopi di simpang jalan dekat pasar. Kalau aku pulang, di kedai kopi itu kami bercakap-cakap mengenang kawan lama serta kota kami yang telempap tetapi menyimpan sifat-sifat aneh yang tak terduga. Bahkan mengerikan.
“Si Cudik kini di Lubuk Sikaping,” Biju menerangkan dengan gembira. Tak lama lagi pensiun. Si Talib di Dumai, sudah bercucu satu, si Tunik buka lepau nasi di Muaro Bungo. Dua lepau nasinya sekarang, Nius. Satu di Palembang. Hebat dia!”
“Ingat si Bun Kay?” tiba-tiba Tum menyela, setelah mengamati wajah-wajah tak kukenal yang lalu lalang di luar kedai kopi Tum. Waktu terus berjalan dan orang-orang lahir, dewasa atau jadi tua, kendati kota kami tetap saja setelempap.
“Tentu! Kubilang. Di mana dia?” tanyaku antusias. Bun satu-satunya sahabat cina kami di waktu kecil. Dia dan keluarganya tergolong aneh, akrab dengan pribumi. Ayah Bun tukang gigi, ibunya berjualan kue mohok alias bakpau. Di kota kami orang Cina tidak mampu bersaing di pasar dengan pedagang pribuni tetapi tidak tertandingi membuat kue, sebagai grosir roti da permen, lebih-lebih tukang gigi. Mereka pemilik satu-satunya bioskop dan dua studio foto yang ada di kota kami.
“Bun di Medan jadi dokter,” jawab Tum. “Pernah sekali datang waktu mau ke Padang melihat kakaknya. Berubah sekarang, Nius. Kami ajak bermalam tidak mau. Tapi kami kawani dia melihat bekas rumah orangtuannya.”

Selain itu(latar tempat) cerpen tersebut juga menggunakan latar waktu yang menceritakan tentang sebuah peristiwa ditahun 1960an. Hal itu juga dijelaskan dalam kutipan sebagai berikut:

Dalam peristiwa dahsyat pertengahan 1960-an rumah orangtua Bun di Kebun Sikolos diobrak abrik massa, diduduki hingga kini. Mereka bilang ayah Bun penjual gigi dari Peking. Dulu kami sering bermalam di rumah itu. Pagi-pagi terdengar suara sandal ibu Bun berlosoh-losoh mendekati pavilion tempat kami tidur, mengantar kue mohok hangat-hangat. “Tidak halam, tidak halam! Enak laaa, tak pake babi laaa,” ia sondorkan nampan berisi mohok serta teh manis. Begitu sandalnya terlosoh pergi kue dan teh itu amblas ke perut kami.

Cuplikan lain juga terlihat pada dialog berikut:
Sewaktu prahara dahsyat pertengahan 1960-an melanda kota kami, dan orang bergegas lewat bergelombang-gelombang di muka rumah sambil berteriak-teriak, aku menghambur ke jalan. Tidak kuhiraukan himbauan ibu dan ayah. “Jangat ikut! Jangan ikut kau!” Aku terus berjalan di belakang gerombolan-gerombolan manusiayang riuh. Mereka menuju rumah Sultani, berteriak-teriak. Suara mereka teramat gaduh. Mereka melempar rumah itu dengan batu. Tahi kambing, tahi kuda dan entah dengan apa lagi.
Setting juga memiliki fungsi psikologis seperti akibat kecingkahakan atau keusilan Sultani yang telah membabat habis rambut aku hingga gundul membuat dendamnya membara. Hal ini terlihat dari cuplikan dialog cerpen berikut:
Bukan saja Bun, banyak kawan merasakan ulah Sultani. Aku malah tak sekali. Namun yang membuat dendamku membara ketika semua bulu di kepalaku dia babat. Jangan pula licin tandas bak kelapa, potong pendek bak tentara saja aku bosan. Sudah lama aku dambakan model rambut orang dewasa atau rambut abangku, Rustam. Tetapi, setiap usai dicukur kepalaku tetap mirip tentara atau anak kecil. Padahal selalu kuminta Mak Hasan mencukur seperti yang kuinginkan, dan tukang cukur langganan ayah itu pun ber-hm-hm sambil mendorong kepalaku kian kemari.
“Cukur sama sultani!” Biju menyarankan. “Rambutku dia cukur, Tunik juga. Rancak kan?” Seperti rambut Biju itu yang aku inginkan. Tak licin disekeliling kepala, tetap ditumbuhi rambut dua-tiga senti yang melingkar manis rapi disekitar telinga.
Aku serahkan kepalaku pada Sultani. Mulanya sungguh-sungguh dia. Uang sedianya diterima Mak Hasan kujanjikan kami bagi dua. “Seperti model rambut bang Rustam, kan?” Aku mengangguk. Pelan-pelan disentuh Sultani kepalaku. Suara gunting tak berdencing-dencing ganas. Mendesis desis lunak. Mataku merem melek, tidur-tidur ayam. Tetapi lama-lama kepalaku semakin dingin. Ketika kuraba, sebagian kepalaku sudah terkelupas bak ayam hemdak digulai!
“Tak ada jalan lain, terpaksa begitu!” Ditekan Sultani kepalaku dengan ujung telunjuk. “Tadi disini terlampau pendek, kuratakan. Eh, malah sebelah sini terlampau pendek. Sudahlah, sepekan rambutmu panjang lagi. Bagus juga kau gundul, seperti Yull Bryner kau!”
Sejak hari itu kami tak berteguran. Tepatnya, aku tidak mau bicara atau dekat-dekat dengan manusia cingkahak itu. Dia mendekat, aku menghindar atau pergi. Dia cerita begini-begitu aku buang muka. Lupa aku pada sifat baiknya yang setia kawan dan suka memberi. Dendamku laksana sumur tanpa dasar. Lebih-lebih waktu Sui Lin, suatu pagi, tersenyum melihat kepalaku yang plontos bak kelapa ketika aku nginap dirumah Bun. “Kepala ko Nius kenapa?” Alamak, mati awak rasanya menanggung aib!

Dari cuplikan cerpen diatas dapat disimpulkan bahwa setting atau latar peristiwa tersebut berada pada kota kelahiran, bahkan masing-masing tempat tinggal aku dan kawan-kawan dalam cerpen. Dalam cerpen tersebut juga terdapat setting waktu tepatnya pada tahun dimana sebuah peristiwa besar melanda kota kelahiran aku(Nius) dan juga kawan-kawannya. Selain itu, fungsi psikologis juga nampak dalam cerpen tersebut, dimana dendam membara menyelimuti aku kepada sobatnya yang telah hilang itu.

2.3. Penokohan
Tokoh-tokoh pada cerpen Mata Sultani adalah:
1. Tokoh Utama Cerpen Adalah Sultani
Tokoh Sultani dalam cerpen tersebut adalah lincah, lucu, pintar disekolah, dan juga cingkahak alias usil dan kurang ajar. Hal ini terlihat dalam cuplikan cerpen berikut:

Kawan masa kecil itu lincah, lucu, pintar disekolah. Dia kapten sepak bola. Juga pandai menjahit, mencukur, menyogok portir bioskop sehingga kami bisa menonton film 17 tahun ke atas yang dibintangi Sophia Loren. Kami diselundupkan portir ketika lampu bioskop padam. Membungkuk-bungkuk mencari kursi kelas 3 yang kosong, atau menjelepak duduk di lantai, berdebar-debar sekitar dua jam menyaksikan aksi Sophia Loren yang menggairahkan.

Cuplikan lain juga terlihat pada:
”Makan, makan! Tidak halam! Tak pake gigi babi laaa!” Sultani cengar-cengir tertawa-tawa menyindir, mengajak makan. Bun tertawa-tawa menyikat nasi goreng. Lalu ia sambar roti. Biju dan Tunik juga. Kami berebut. Sultani menarik piring roti kedalam sarung, mencangunginya seperti buang hajad. Saat dia letakkan ke meja tak seorangpun yang berselera menyentuh kecuali dia.
Tempo-tempo kawan itu, memang cingkahak, alias usil plus kurang ajar. Portir bioskop juga dia ulahi. Diantara lipatan uang sogokan dia selipkan duit buntung atau uang zaman jepang sehingga untuk beberapa waktu kami terpaksa puasa nonton film orang dewasa. Sultani malah tertawa-tawa makan uang haram itu. Dia pernah pula Buya Makruf, guru mengaji kami, terbungkuk-bungkuk keluar tempat wudu bercelana kolor dan dada bugil. Baju, kopyah, serta sarung beliau”terbang; ke halaman masjid ulah Sultani!
Suatu kali, ketika mandi-mandi dibatang air yang mengalir di kota kami Bun tiba-tiba terpekik. Ada yang menyentak ujung kulupnya dari bawah air. ”Ular! Ular!” Bun berteriak panik. Berenang kalang kabut ketepi mukanya pucat serupa mayat. Kepala sultani menyembul ditengah sungai. Terbahak-bahak seperti hantu air. ”Sunat Bun! Potong Bun! Terlalu panjang Bun!”
”Tidak sakit, bah!” Sultani meyakinkan bak tukang obat. ”Malah, tidak terasa. Babah mau coba? Sret, selesai!”
Ayah Bun terkekeh. Ibunya tersipu. Dan Bun di sunat. ”Sebetulnya telat Bun. Kelas enam disunat, jadi keras. Mestinya waktu kita kelas tiga,” ujar Sultani saat Bun meringis dan kami mendampingi kawan itu setiap malam. ”Tapi tak apa-apa terlambat daripada tidak. Iya kan, Bun?” Bun mengangguk lemah.
Setelah sembuh dan suatu petang Bun termangu dihalaman Masjid Jambatan Basi menanti kami usai mengaji, Sultani berkata: ”Sudah Bun, ikut mengaji saja. Biar aku yang ngajar. Sebulan ditanggung fasih, Bun!”
Sultani memang pandai mengaji dan ditunjuk Buya Makruf sebagai guru kecil. Kepandaian itu turun dari ibunya. Ibunya selalu mengaji tipa subuh. Suaranya merdu, tajwid dan qiraahnya elok. Tapi aku merasa, ajakan Sultani pada Bun karena dia ingin mengamangkan rotan didepan kawan itu. Dan sesekali, tentu saja, melecutkan ke kaki seperti dia lakukan pada kami selaku guru kecil yang cingkahak.
Bukan saja Bun, banyak kawan merasakan ulah Sultani. Aku malah tak sekali. Namun yang membuat dendamku membara ketika semua bulu di kepalaku dia babat. Jangan pula licin tandas bak kelapa, potong pendek bak tentara saja aku bosan. Sudah lama aku dambakan model rambut orang dewasa atau rambut abangku, Rustam. Tetapi, setiap usai dicukur kepalaku tetap mirip tentara atau anak kecil. Padahal selalu kuminta Mak Hasan mencukur seperti yang kuinginkan, dan tukang cukur langganan ayah itu pun ber-hm-hm sambil mendorong kepalaku kian kemari.

Dari cuplikan diatas dapat disimpulkan bahwasanya tokoh utama dalam cerpen tersebut adalah sangat usil, suka bergurau, sangat kurang ajar, tidak memandang siapa lawan keusilannya tersebut. Sultani dikatakan tokoh utama sebab tokoh Sultani paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, atau bahkan tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita.

2. Tokoh Tambahan Disini Adalah Aku(Nius)
Tokoh Nius (Aku) dalam cerpen tersebut berwatak pendendam, romantis, perhatian, dan juga mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi.
Hal ini dapat diamati dari cuplikan cerpen berikut:

Bukan saja Bun, banyak kawan merasakan ulah Sultani. Aku malah tak sekali. Namun yang membuat dendamku membara ketika semua bulu di kepalaku dia babat. Jangan pula licin tandas bak kelapa, potong pendek bak tentara saja aku bosan. Sudah lama aku dambakan model rambut orang dewasa atau rambut abangku, Rustam. Tetapi, setiap usai dicukur kepalaku tetap mirip tentara atau anak kecil. Padahal selalu kuminta Mak Hasan mencukur seperti yang kuinginkan, dan tukang cukur langganan ayah itu pun ber-hm-hm sambil mendorong kepalaku kian kemari.
Bagiku, lebih menyenangkankalau yang mengantar kue adalah Sui Lin, adik Bun. Pagi-pagi Lin terlihat segar. Pipinya putih kemerahan serupa jambu air. Matanya tak terlalu sipit. Rambut ekor kuda. Suara Lin halus: “Ko Bun! Engko Bun!” Dadaku berdebar mendengar suara itu, juga ketukan jari-jarinya yang mungil di pintu. Kelas 6 SD kurasakan gejolak cinta monyet mengalir deras terhadar Lin, adik kelas kami.

“Bagaimana kabar Sultani? Di mana dia?” tanyaku pada kawan-kawan dikota kelahiran. Mereka menggeleng. “Itulah,” sahut Tum, kembali menampakkan senyum yang ganjil. “Banyak kawan kita serasa ada dan tiada, Nius. Bak orang-orang dalam mimpi. Tidak kecuali sultani.”

Sewaktu prahara dahsyat pertengahan 1960-an melanda kota kami, dan orang bergegas lewat bergelombang-gelombang di muka rumah sambil berteriak-teriak, aku menghambur ke jalan. Tidak kuhiraukan himbauan ibu dan ayah. “Jangat ikut! Jangan ikut kau!” Aku terus berjalan di belakang gerombolan-gerombolan manusia yang riuh. Mereka menuju rumah Sultani, berteriak-teriak. Suara mereka teramat gaduh. Mereka melempar rumah itu dengan batu. Tahi kambing, tahi kuda dan entah dengan apa lagi.
Dari cuplikan diatas dapat dikemukakan bahwa tokoh tambahan dalam cerpen tersebut adalah aku(Nius) yang mana tokoh tambahan tersebut kehadirannya lebih sedikit dari tokoh utama.

3. Tokoh Sederhana Seperti Tokoh Bun, Sui Lin, Tun Dan Juga Biju
Tokoh Bun dalam cerpen berwatak penakut. Hal ini terlihat dalam cuplikan cerpen berikut:

Suatu kali, ketika mandi-mandi dibatang air yang mengalir di kota kami Bun tiba-tiba terpekik. Ada yang menyentak ujung kulupnya dari bawah air. ”Ular! Ular!” Bun berteriak panik. Berenang kalang kabut ketepi mukanya pucat serupa mayat. Kepala sultani menyembul ditengah sungai. Terbahak-bahak seperti hantu air. ”Sunat Bun! Potong Bun! Terlalu panjang Bun!”

Tokoh Sui Lin dalam cerpen tersebut berwatak perhatian. Hal ini terlihat pada cuplikan berikut:
Lebih-lebih waktu Sui Lin, suatu pagi, tersenyum melihat kepalaku yang plontos bak kelapa ketika aku nginap dirumah Bun. “Kepala ko Nius kenapa?” Alamak, mati awak rasanya menanggung aib!

Tokoh Tum dan Biju dalam cerpen tersebut adalah mudah berputus asa. Sebab mereka hampir menyerah dalam mencari keberadaan kawannya itu. Hal ini terlihat pada cuplikan berikut :
“Bagaimana kabar Sultani? Di mana dia?” tanyaku pada kawan-kawan dikota kelahiran. Mereka menggeleng. “Itulah,” sahut Tum, kembali menampakkan senyum yang ganjil. “Banyak kawan kita serasa ada dan tiada, Nius. Bak orang-orang dalam mimpi. Tidak kecuali sultani.”

”Sejak peristiwa itu tak ada yang tahu di mana Sultani dan keluargannya, Nius,” sambung Biju lesu. ”Sanak famili ayahnya dikampung juga tidak. Pernah kami tanya ke situ, hasilnya nihil. Berkabarpun mereka tak pernah sejak kejadian itu.”

Dari cuplikan diatas dapat disimpulkan bahwa tokoh Bun, Sui Lin, Tum dan Biju adalah sama-sama memiliki satu kualitas tertentu, artinya sama-sama memiliki sifat watak yang tertentu saja. Watak yang dimiliki tokoh sederhana cenderung datar, monoton, dan hanya mencerminkan satu watak tertentu.
4. Tokoh Bulat Adalah Cudik
Tokoh cudik bersikap baik hati karena tokoh Cudik dalam cerpen tersebut membawa berita atau informasi keberadaan Sultani sebenarnya. Hal ini terlihat dalam cuplikan cerpen berikut:

Cudik bilang mereka membawanya ke Singgalang Kariang. Menghabisinya. Membuang mayat orang tua itu ke Batang Anai. ”Seperti mencampakkan bangkai anjing!” cerita Cudik.
”Bagaimana kau tahu? Ikut aku ke situ?” Kami tanyai Cudik ramai-ramai.
Semua orang bilang begitu. Kalian tidak tahu mereka menghabisinya petang itu juga!” Cudik berkeras. ”Dan, kemarin pagi, ada yang menemukan sepasang mata di Batang Anai waktu menjala ikan. Hanya mata saja, dua buah. Tubuhnya tidak ada!”

Dari cuplikan diatas dapat dikemukakan bahwa Cudik memberikan informasi mengenai keberadaan kawan mereka yang dari semula atau dari awal cerita tidak ada yang mengetahui keberadaan kawannya tersebut. Dan dari Cudiklah keberadaan kawan mereka dapat terungkap. Hal ini dapat dikatakan bahwa Cudik adalah tokoh bulat yang membawa kejutan kepada kawan-kawannya yang lain.

2.4. Plot atau Alur
Plot atau alur yang digunakan pada cerpen tersebut adalah alur campuran. Dimana alur tersebut menceritakan kejadian pada masa sekarang juga kejadian empat puluh tahun yang silam. Hal ini didukung dengan cuplikan cerpen berikut:

Kepada mereka, bila aku pulang ke kota kami selalu kutanyakan kawan-kawan masa kecil itu, tetapi tak banyak lagi kabar gembira aku peroleh. Kawan-kawan lama kami jarang pulang, bahkan banyak yang tidak pulang sejak merantau-belasan atau puluhan tahun yang silam. “Seperti ada dan tiada, Nius,” jawab Tum menampakkan senyum yang ganjil. Seperti orang-orang di dalam mimpi.”

“Si Cudik kini di Lubuk Sikaping,” Biju menerangkan dengan gembira. Tak lama lagi pensiun. Si Talib di Dumai, sudah bercucu satu, si Tunik buka lepau nasi di Muaro Bungo. Dua lepau nasinya sekarang, Nius. Satu di Palembang. Hebat dia!”

Cuplikan lain juga terlihat pada:
Dalam peristiwa dahsyat pertengahan 1960-an rumah orangtua Bun di Kebun Sikolos diobrak abrik massa, diduduki hingga kini. Mereka bilang ayah Bun penjual gigi dari Peking. Dulu kami sering bermalam di rumah itu. Pagi-pagi terdengar suara sandal ibu Bun berlosoh-losoh mendekati pavilion tempat kami tidur, mengantar kue mohok hangat-hangat. “Tidak halam, tidak halam! Enak laaa, tak pake babi laaa,” ia sondorkan nampan berisi mohok serta teh manis. Begitu sandalnya terlosoh pergi kue dan teh itu amblas ke perut kami.

Sewaktu prahara dahsyat pertengahan 1960-an melanda kota kami, dan orang bergegas lewat bergelombang-gelombang di muka rumah sambil berteriak-teriak, aku menghambur ke jalan. Tidak kuhiraukan himbauan ibu dan ayah. “Jangat ikut! Jangan ikut kau!” Aku terus berjalan di belakang gerombolan-gerombolan manusiayang riuh. Mereka menuju rumah Sultani, berteriak-teriak. Suara mereka teramat gaduh. Mereka melempar rumah itu dengan batu. Tahi kambing, tahi kuda dan entah dengan apa lagi.

Dari cuplikan tentang alur diatas dapat diketahui bahwa alur yang mendasari cerpen tersebut adalah menggunakan alur campuran, dari kalimat yang diucapkan sudah jelas menandakan bahwa alur tersebut adalah campuran, baik dari masa sekarang maupun berpuluh tahun yang lalu.
BAB IV
PENUTUP

SIMPULAN
Dari analisis cerpen diatas, dapat saya simpulkan :
1. Tema
Tema cerpen Mata Sultani mengisahkan tentang (kehilangan) pencarian seorang teman semasa kecil yang telah lama tidak bertemu. Hal ini terlihat dalam cuplikan berikut:
“Kepada kawan-kawan yang tiba dari rantau kami juga bertanya kalau-kalau mereka mendengar di mana Sultani, Nius. Tetapi mereka pun tidak tahu,” kata Amril, melihat aku tak henti menanyakan kawan masa kecil itu tiap pulang ke kota kelahiran.

2. Setting Atau Latar
Setting atau latar cerpen tersebut adalah pada sebuah kota kelahiran. Serta setting waktu yang juga ditunjukkan dalam cerpen tersebut. Selain itu setting cerpen tersebut juga terdapat fungsi psikologis. Hal tersebut dapat diperoleh dari cuplikan berikut :
Kepada mereka, bila aku pulang ke kota kami selalu kutanyakan kawan-kawan masa kecil itu, tetapi tak banyak lagi kabar gembira aku peroleh. Kawan-kawan lama kami jarang pulang, bahkan banyak yang tidak pulang sejak merantau-belasan atau puluhan tahun yang silam. “Seperti ada dan tiada, Nius,” jawab Tum menampakkan senyum yang ganjil. Seperti orang-orang di dalam mimpi.”
Dalam peristiwa dahsyat pertengahan 1960-an rumah orangtua Bun di Kebun Sikolos diobrak abrik massa, diduduki hingga kini. Mereka bilang ayah Bun penjual gigi dari Peking. Dulu kami sering bermalam di rumah itu. Pagi-pagi terdengar suara sandal ibu Bun berlosoh-losoh mendekati pavilion tempat kami tidur, mengantar kue mohok hangat-hangat. “Tidak halam, tidak halam! Enak laaa, tak pake babi laaa,” ia sondorkan nampan berisi mohok serta teh manis. Begitu sandalnya terlosoh pergi kue dan teh itu amblas ke perut kami.

Fungsi psikologis cerpen terletak pada cuplikan:
Bukan saja Bun, banyak kawan merasakan ulah Sultani. Aku malah tak sekali. Namun yang membuat dendamku membara ketika semua bulu di kepalaku dia babat. Jangan pula licin tandas bak kelapa, potong pendek bak tentara saja aku bosan. Sudah lama aku dambakan model rambut orang dewasa atau rambut abangku, Rustam. Tetapi, setiap usai dicukur kepalaku tetap mirip tentara atau anak kecil. Padahal selalu kuminta Mak Hasan mencukur seperti yang kuinginkan, dan tukang cukur langganan ayah itu pun ber-hm-hm sambil mendorong kepalaku kian kemari.

3. Penokohan
Hasil penganalisisan tersebut dapat pula kita ketahui setiap perwatakan tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut, seperti tokoh utamanya yaitu Sultani yang mempunyai watak sangat usil kepada semua orang, tokoh tambahannya yaitu aku(Nius) yang perhatian, pendendam, romantis dan juga mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, tokoh sederhana seperti Bun, Sui Lin, Tum dan juga Biju yang memiliki sifat watak yang tertentu yang membantu dalam cerpen tersebut, dan terakhir adalah Cudik yang baik hati yang membawa kejutan kepada kawan-kawannya yang lain. Semua itu dapat diamati dari beberapa cuplikan tokoh berikut:

 Tokoh Utama (Sultani)
Tempo-tempo kawan itu, memang cingkahak, alias usil plus kurang ajar. Portir bioskop juga dia ulahi. Diantara lipatan uang sogokan dia selipkan duit buntung atau uang zaman jepang sehingga untuk beberapa waktu kami terpaksa puasa nonton film orang dewasa. Sultani malah tertawa-tawa makan uang haram itu. Dia pernah pula Buya Makruf, guru mengaji kami, terbungkuk-bungkuk keluar tempat wudu bercelana kolor dan dada bugil. Baju, kopyah, serta sarung beliau”terbang; ke halaman masjid ulah Sultani!

 Tokoh Tambahan(aku/Nius)
“Bagaimana kabar Sultani? Di mana dia?” tanyaku pada kawan-kawan dikota kelahiran. Mereka menggeleng. “Itulah,” sahut Tum, kembali menampakkan senyum yang ganjil. “Banyak kawan kita serasa ada dan tiada, Nius. Bak orang-orang dalam mimpi. Tidak kecuali sultani.”

 Tokoh Sederhana (Bun, Sui Lin, Tum dan Biju)
Suatu kali, ketika mandi-mandi dibatang air yang mengalir di kota kami Bun tiba-tiba terpekik. Ada yang menyentak ujung kulupnya dari bawah air. ”Ular! Ular!” Bun berteriak panik. Berenang kalang kabut ketepi mukanya pucat serupa mayat. Kepala sultani menyembul ditengah sungai. Terbahak-bahak seperti hantu air. ”Sunat Bun! Potong Bun! Terlalu panjang Bun!”

Lebih-lebih waktu Sui Lin, suatu pagi, tersenyum melihat kepalaku yang plontos bak kelapa ketika aku nginap dirumah Bun. “Kepala ko Nius kenapa?” Alamak, mati awak rasanya menanggung aib!

“Bagaimana kabar Sultani? Di mana dia?” tanyaku pada kawan-kawan dikota kelahiran. Mereka menggeleng. “Itulah,” sahut Tum, kembali menampakkan senyum yang ganjil. “Banyak kawan kita serasa ada dan tiada, Nius. Bak orang-orang dalam mimpi. Tidak kecuali sultani.”

”Sejak peristiwa itu tak ada yang tahu di mana Sultani dan keluargannya, Nius,” sambung Biju lesu. ”Sanak famili ayahnya dikampung juga tidak. Pernah kami tanya ke situ, hasilnya nihil. Berkabarpun mereka tak pernah sejak kejadian itu.”


 Tokoh Bulat (Cudik)
Cudik bilang mereka membawanya ke Singgalang Kariang. Menghabisinya. Membuang mayat orant tua itu ke Batang Anai. ”Seperti mencampakkan bangkai anjing!” cerita Cudik.
”Bagaimana kau tahu? Ikut aku ke situ?” Kami tanyai Cudik ramai-ramai.
Semua orang bilang begitu. Kalian tidak tahu mereka menghabisinya petang itu juga!” Cudik berkeras. ”Dan, kemarin pagi, ada yang menemukan sepasang mata di Batang Anai waktu menjala ikan. Hanya mata saja, dua buah. Tubuhnya tidak ada!”

4. Plot atau Alur
Dan yang terakhir adalah alur cerpen tersebut adalah menggunakan alur campuran, yang diceritakan secara acak dari masa kini, berpuluh tahun yang lalu dan kembali lagi kemasa sekarang. Hal ini terlihat dari cuplikan berikut:
“Si Cudik kini di Lubuk Sikaping,” Biju menerangkan dengan gembira. Tak lama lagi pensiun. Si Talib di Dumai, sudah bercucu satu, si Tunik buka lepau nasi di Muaro Bungo. Dua lepau nasinya sekarang, Nius. Satu di Palembang. Hebat dia!”
Dalam peristiwa dahsyat pertengahan 1960-an rumah orangtua Bun di Kebun Sikolos diobrak abrik massa, diduduki hingga kini. Mereka bilang ayah Bun penjual gigi dari Peking. Dulu kami sering bermalam di rumah itu. Pagi-pagi terdengar suara sandal ibu Bun berlosoh-losoh mendekati pavilion tempat kami tidur, mengantar kue mohok hangat-hangat. “Tidak halam, tidak halam! Enak laaa, tak pake babi laaa,” ia sondorkan nampan berisi mohok serta teh manis. Begitu sandalnya terlosoh pergi kue dan teh itu amblas ke perut kami.


DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Alwi, Adek. 2005. Mata Sultani. Kompas Edisi 12 Juni 2005 hal: 17.
Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi karya sastra. Bandung. Algasindo
Foster, E.M. 1970. Aspect of the Novels. Harmondswort: Penguin Book.
Hartoko, Dick dan B. rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia sastra. Yogyakarta: Kanisius
Jones, Edward H. 1968. Outlines of Literatur: Short Stories, Novels, and Poems. New York: The Macmillan Company

ANALISIS NOVEL "CINTA YANG TERTUNDA" KARYA PANCA TRIWATI

BAB I
Kelemahan dan Kelebihan Cerpen Dengan Judul “Cinta Yang Tertunda”

A. Kelemahan Cerpen Yang Berjudul “Cinta Yang Tertunda”
Dalam cerpen ini ada beberapa kelemahan yang bernilai negativ pada pandangan pembaca khususnya pada peneliti, karena dengan nilai-nilai negative ini dapat dijadikan contoh dan dapat diambil hikmahnya. Kelemahan ini tedapat pada tokoh Tante Ira, mengapa kelemahan itu terletak pada tokoh Tante Ira ? karena dalam cerpen menceritakan kalau Tante Ira sudah pernah hamil sebelum menikah dan sebelum umur 20 tahun, yang anehnya lagi anak yang dilahirkannya tidak dirawat sendiri melainkan dirawat oleh kakanya. Akan tetapi ketika Dina (anak Tante Ira) sudah SMP, dia memilih tinggal dengan Tante Ira dan orang tuanya tinggal di luar negeri. Walaupun selama tinggal dengan Tante Ira, Dina belum mengetahui sebenarnya.
Dari sinilah penulis dapat menyimpulkan atas cerita yang terdapat pada cerpen tersebut, ada kelemahan yang bernilai negative dan melanggar suatu aturan dan norma-norma agama, pada kehamilan Tante Ira yang di luar nikah. Setelah itu orang tua yang tak mau merawat anaknya, sampai dewasa dan Dina tahu kebenarannya kalau Dina hidup tanpa seorang ayah.
Dari kelemahan pada cerpen ini, pembaca dapat mengambil hikmahnya dan dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi anak-anak yang menginjak remaja jangan terlalu percaya pada rayuan lelaki.

B. Kelebihan Cerpen Dengan Judul “Cinta Yang Tertunda”
Dalam cerpen ini walaupun ada kelemahan yang bernilai negative, akan tetapi juga ada nilai yang positif yanitu pada Tante Ira, walupun Tante Ira sudah bertaubat dan berhati-hatu dalam menjalani kehidupan, serta kejadian-kejadian pahit, tidak akan ingin terjadi lagi pada dirinya atau pada puti kesayangannya yaitu Dina, karena itu dalam verita verpen “cinta yang tertunda” Tante Ira benar-benar mengawasi tingkah laku Dina, setiap ada acara keluar bersama temannya, tante ira selain tidak mengijini lagi karena ketakutan yang terjadi pada Tante Ira.
Dari sini sikap Tante Ira pada Dina sangatlah bernilai positif, karena benar-benar mendidik Dina untuk berhati-hati pada lelaki.
Dari kekangan inilah akhirnya semua kebenarannya terungkap, karena Dina terus mendesak alas an apa yang melarang Dina untuk bermain bersama temannya. Walupun kebenaran itu terungkap, sedikit sakit hati Dina, akan tetapi akhirnya Dina bias menerima segala apa yang terjadi selama ini.
Ini merupakan kelebihan dari cerpen dengan judul “cinta yang tertunda” tidak jarang ada kejadian yang menerima atas kejadian seperti ini. Untuk itu dari kelebihannya bias kita ambil nilai-nilai positifnya untuk tidak gegabah, emosi dalam mengahadapi masalah, apapun jenis masalah itu, kita tak luput kalau semua itu adalah suatu cobaan yang hanya untuk mengukur sebasar apa keimanan dan kesabaran kita.

















BAB II

A. Kajian Struktural
Sebuah karya sastra fiksi atau puisi menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsure (pembangun)-nya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams. 1981: 68). Dipihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur (instrinsik) yang bersifat timbale balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membetuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, tau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi bararti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.
Analisis structural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur instrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dicobajelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas-kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungna antara peristiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan pemplotan yang tak selalu kronologis, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya.
Dengan demikian, pada dasarnya analisis structural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghsilkan sebuah kemenyuluruhan. Analisis structural tak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang iingin dicapai. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan unik. Disamping setiap karya mempunyai cirri kekompleksan dan keunikannya sendiri dan hal iinilah antara lain yang membedakan antara karya yang satu dengan karya yang lain. Namun, tidak jarang analisis structural cenderung kurang tepat, sehingga yang terjadi hanyalah analisis fragmentaris yang terpisah-pisah. Analisis yang demikian inilah yang dapat dituduh mencincang karya sastra sehingga justru menjadi tidak bermakna.
Namun, penekanan pada sifat otonomi strukturalisme dan atau kajian structural. Hal itu disebabkan bagaimanapun juga sebuah karya sastra tidak mungkin dipisahkan sama sekali dari latar belakang social budaya dan atau latar belakang kesejarahannya. Melepas karya sastra dari latar belakang social budaya dan kesejarahannya, akan menyebabkan karya itu menjadi kurang bermakna, atau paling tidak maknanya menjadi amat terbatas, atau bahkan menjadi sulit ditafsirkan. Hal itu berarti karya sastra menjadi kurang gayut dan bermanfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, analisis struktural sebaiknya dilengkapi dengan analisis yang lain, yang dalam hal ini semiotik, sehingga menjadi analisis struktural-semiotik, atau analisis struktural yang dikaitkan dengan keadaan social budaya secara lebih luas.

B. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis adalah pendekatan penalaahan sastra yang menekankan pada segi-segi psikologis yang terdapat dalam sautu karya sastra. Mengapa segi-segi psikologis ini mendapat perhatian dalam penelaahan dan penelitian sastra ? Hal ini terjadi diesebabkan timbulnya kesadaran bagi para pengarang, yang dengan sandirinya juga bagi kritikus sastra, bahwa perkembangan dan kemajuan masyarakat di zaman modern ini tidaklah semata-mata dapat diukur dari segi material saja, tetapi juga dari segi rohaniah atau kejiawaan.
Kemajuan-kemanjuan tegnologi serat modernisasi dalam segala sektor kehidupan tampaknya bermula dari sikap kejiwaan tertentu serta bermuara pula ke permasalahan kejiawaan. Tidak sedikit jumlahnya manusia yang sudah sukses dalam kehidupan kebendaan, namun ia masih juga berusaha keras mencapai taraf kehidupan kebendaan yang lebih tinggi, yang tidak pernah ada batasnya itu. Akhirnya kandas dan menemukan dirinya terbenam ke dalam penyakit kejiwaan. Oleh sebab itu banyak pengarang-pengarang terkemuka dewasa ini mengemukakan tentang permasalahan kehidupan dengan memperhatikan pendapat-pendapat atau teori-teori psikologi.
Dari berbagai cabang psikologi, psiko-analisislah yang lebih banyak mempunyai hubungan dengan sastra, sebab ia member teori adanya dorongan bahwa sadar mempengaruhi tingkah laku manusia. Pelopor psiko-analisis ini adalah Sigmund Freud. Prinsip-prinsipnya adalah :
a. Lapisan kejiwaan yang paling dalam (rendah) adalah lapisan bawah sadar (libido) atau daya hidup, yang berbentukdorongan seksual dan perasaan-perasaan lain yang mendorong manusia mencari kesenangan dan kebahagiaan.
b. Pengalaman-pengalaman sewaktu bayi dan sewaktu kanak-kanak, banyak mempengaruhi sikap hidup da masa dewasa. Yang paling terkenal dalam hal ini adalah ikatan antara anak perempuan dengan ayahnya dan antara anak laki-laki dengan ibunya.
c. Semua buah fikiran, betapapun kelihatannya tidak berarti, masih tetap penting bila dihubungkan dengan daerah bawah sadar.
d. Konflik emosi, pada dasarnya adalah konflik antara perasaan bawah sadar dengan keinginan-keinginan yang muncul dari luar.
e. Emosi itu sendiri bersafat dwirasa. Tidak ada emosi dari satu jenis. Benci dan sayang saling bercampur. Seorang laki-laki mungkin membenci seorang wanita tetapi sekaligus dia juga tetarik kepadanya.
f. Sebagian konflik dapat diselesaikan atau disembunyikan dengan cara yang dapat diterima. Apabila dai mampu keluar dari konflik itu, disebut sublimasi, tetapi bial gagal ia akan menyerupau neurosis, yaitu konflik emosi di dasar jiwa.
Pada tahun 1923, Sigmund Freud merumuskan hipotesis akhirnya berhubungan dengan seluk beluk jiwa manusia. Dia menyimpulkan, bahwa seluk beluk jiwa manusia itu tersusun dalam tiga tingkat, yaitu id (libido atau dorongan dasar), ego (peraturan secara sadar antara id dan realitas luar/sosial), dan superego (penuntun moral dan aspirasi seseorang). Id tidak bisa dimusnahkan, tetapi hanya dapat dikawal, di dalam tidur ia menjelma kembali tetapi sebagian saja. Ego biasanya mengawal dan menekan dorongan id yang kuat, mengubah sifatnya jika ia menjelma kea lam tingkat sadar. Superego berfungsi sebagai lapisan yang menolak sesuatu yang melanggar prisip moral, yang menyebabkan seseorang merasa malu atau memuji sesuatu yang dianggap baik. Apabila terdapat keseimbangan yang wajar dan stabil antara ketiga unsur itu, akan memperoleh struktur watak manusia biasa.
Kelemahan teori psiko-analisis Sigmund Freud, yaitu :
a. Dianggap berlebihan menyorot kembali segalanya ke alam bayi.
b. Teori ini tidak boleh dan tidak dapat dibuktikan secara scientific, ia sebenarnya merupakan suatu system matefora.
c. Terdapat terlalu banyak jenis aliran psiko-analisis sebagai suatu ilmu pengetahuan.
d. Penekanan terlalu berlebihan tentang penumpuan pada seksual.
Pemanfaatan teori ini dalam sastra yang dilakukan oleh kebanyakan pengarang, ialah dengan mengambil bagian-bagian yang berguna dan tulen untuk pertimbangan mereka dalam mengkaji sifat pribadi seseorang.





BAB III

Analisis Cerpen Tentang “Cinta Yang Tertunda”

Langkah-Langkah Dan Proses Analisis
Pada langkah pertama penulis menekankan pada kajian keseluruhannya baik berupa unsur intrinsik maupun ekstrinsiknya, namun tekanan pada unsur instrinsik, yaitu tentang penokohan dan perwatakannya.
Pada cerpen ini unsur-unsur instrinsiknya yaitu
1. Tema
Pada cerpen ini menjelaskan tentang beberapa masalah yak ni sebuah cinta yang tertunda akibat ada masa lalu yang tidak ingin terjadi lagi pada putrid kesayangannya yang menjadikan suatu keterpaksaan dalam akibat sang orang tua atau sang ibu menyamar sebagai tante, melarang untuk berpacaran, karena sang ibu tidak mau kejadian itu terjadi pada anaknya. Biarkan kejadian itu hanya terjadi pada ibunya.
Sang ibu selalu melarang apabila anaknya mau keluar acara bersama temannya, disisi positif niatan ibu sangat baik, disisi lain anaknya merasa murung tidak bias menghadiri pesta temannya.
Bukti pada cerpen ketika sang ibu masih dianggap sebagai tantenya.

“aku nggak mau kamu hamil sebelum menikah, Dina…”
“Tante Ira, Dina kaget bukan main. Tante Ira menarik nafas berat. Aku tak mau kejadin yang sama akan terulang padamu…”
“apa maksud tante ?”
“aku hamil saat usiaku belum mencapai dua puluh tahun. Celakanya dia tak pernah tahu orang tuanya dia keburu mengirimnya ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah di sana. Dan aku kehilangan kontak dengannya, lirih suara tante.”

Dari bukti di atas merupakan cerita sedikit tentang alasan Tante Ira yang sebenarnya orang tuanya yang melarang Dina untuk pacaran, takutnya kejadian itu terulang lagi pada Dina anaknya.
Pada cerpen ini termasuk tema yang mengangkat masalah kehidupan seorang anak yang dilarang bermain kemana-mana dengan tujuan nilai yang positif.

2. Cerita
Dalam cerpen ini mengisahkan tentang kehidupan Dina yang selama ini dikekang di dalam rumah. Dian yang masih duduk di SMP memutuskan untuk tinggal bersama Tante Ira, dan ayah ibunya pergi ke luar negeri untuk memburu nafkah. Kebutuhan Dina selalu tercukupi, baik masalah baju, make up, dll. Hanya pada persoalan laki-laki Tante Ira tidak mengijinkan Dina untuk bermain keluar. Dari sini timbul pertanyaan besar dalam diri Dina apa sih penyebabnya sampai tidak diijini. Sampai akhirnya Dina mengetahui dengan pengakuan Tante Ira kalau larangan Tante Ira terhadap Dina itu bernilai positif agar tidak terjadi lagi pada anaknya. Dengan ini Dina menyadari semuanya, dia sekarang termenung atas yang terjadi pada kehidupannya.

3. Pemplotan
Staton mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa lainnya.
Peristiwa, konflik, dan klimaks ketiga unsur ini merupakan unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita.
a. Paristiwa atau Kejadian
Dalam penggunaan istilah action (aksi, tindakan) dan event (peristiwa kejadian) baik secara bersama-sama atau bergantian.
Pada cerpen ini terdapat suatu peristiwa yang telah dimainkan pada tokoh Dina, yaitu Dina tersebut meminta pengertian atas hubungannya dengan kekasihnya yaitu Roi, setiap mau keluar Dina selalu minta izin akan tetapi Tante Ira selalu tidak mengizini Dina untuk pergi, tetapi Tante Ira pada Roi kekasihnya, begitu tidak mengenakkan yang menunjukkan kejelasan bahwa ketidak setujuan antara Dina berpacaran atau berteman dengan Roi.
Bukti dari cerpen,

“Akhirnya bulan ini bakal ada acara prom night. Masalhnya lagi-lagi terbentur pada Tante Ira. Dia sama sekali nggak setuju Dina ikut.”
“Dina mengira larangan ini ada hubungannya sama Roy! Mama, apa yang mesti Dina lakukan ? nggak mungkin donk Dina nggak ikut acara itu ? mama tolongin Dina dong….”
“Sampai di situ Dina menghentikan ketikannya. Pandangannya mulai buram tertutup air mata yang mulai merembes keluar. Cewek itu menghela nafas berat. Saat itu ingin rasanya Dina menghambur ke dalam pelukan mamanya, dan menangis sepuasnya.”

Dari bukti di atas Tante Ira tak menyetujui sang ibunda yang ada di luar negeri juga terdiam tak bias melakukan apa-apa. Dari sinilah awal peristiwa yang terjadi dalam cerpen ini.

b. Konflik
Konflik adalah sesuatu yang dramatic mengacu pada adanya aksi dan aksi balasan, atau kejadian yang tergolong penting (burupa peristiwa fungsional utama/kernel) yang nerupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot.
Pada cerpen ini terdapat konflik yang begitu besar yang dialami oleh Dina dan Tante Ira, yakni sebuah permasalahan Dina sama Roy sang kekasihnya. Kedekatan mereka tak disenangi dan tak dihiraukan ketika ada acara keluar bersama teman-temannya.
Tante Ira selalu tidak member ijin kepada Dina. Dina lebih marah lagi karena ketika ijin tak dihiraukan, sang orang tuanya juga terdiam, Dina lebih marah dan terdiam murung da dalam kamar. Walaupun teman-temannya menghibur terutama Roy Dina tetap sedih karena untuk izin sekali dalam Prom night tak diizinkan.
Bukti pada cerpen,

“Kok murung ? suara Roy dekat ke telinga Dina. Gimana nggak ? mata bulat Dina menatap sedih. Kayaknya aku nggak dating ke pesta nanti…”
“Roy bertanya lewat tatapannya yang mengatakan : Tante Ira ?”
“Iya, Tante Ira nggak member izin aku.”
“Udah deh nggak usah sedih gitu. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi sebelum hari H itu. Pasti aka nada perubahan…”
“Waktunya kan nggak lama lagi, Roy…kamu yakin ?”
“Roy nyengir. Harus!”
“Kok bisa optimis gitu ?”
“Karena aku punya cinta…”
“Nggak ada hubungannya kaleee… cinta dengan urusan ini?”
“Banyak! Roy tersenyum yakin. Karena sang cinta-lah yang akan membawa keajaiban untuk kita. Karena kita punya cinta itu. Aku yakin, cinta sejati nggak akan mengecewakan. Meski awalnya nggak pernah berjalan dengan mulus, tapi, ia pasti akan membawa akhir yang membahagiakan.”

Pada bukti di atas konflik yang terjadi itu pada Dina dan Tante Ira yang tidak mau mengizinkan Dina keluar ke pesta itu. Kemudian Roy berusaha menhibur Dina dan menyakinkan Dina kalau pasti akan diizinkan.



c. Klimaks
Titik puncak permasalahan dalam sebuah karya sastra. Pada cerpen ini terletak pada Dina yang mengetahui awal alas an kenapa Dina tak diizinkan untuk keluar bersama teman-temannya yaitu ketika Tante Ira telfon pada orang tuanya Dina, mereka membicarakan tentang alas an tak mengizinkan Dina keluar. Dengan tak sengaja Dina mengetahui pembicaraan itu, akhirnya setelah selesai telfon Dina langsung menyatakan pada Tante Ira apa sebenarnya yang terjadi. Dengan adanya hal itu Tante Ira menceritakannya semua dengan hati yang sangat sakit.
Kenapa Tante Ira tak mengizinkan Dina keluar karena ada alasannya yaitu Tante Ira tidak ingin kejadian itu terjadi lagi pada anaknya. Tante Ira cerita kalau pernah hamil diusia sebelum dua puluh tahun yang dihamili oleh Ifan, karena tuntutan kuliah orang tuanya, akhirnya Ifan pergi meninggalkan tante. Sampai lahir Tante Ira bingung menitipkan pada siapa anaknya. Dan orang tuamu lah yang meminta untuk bersedia merawat kamu.
Dari penjelasan di atas sebuah klimaks dalam sebuah cerpen yang menjadikan desain dan jalannya cerita.
Bukti pada cerpen,

“Maaf tante, aku memang salah” Dina menggigit bibirnya menahan cemas yang kian menyesak.
“Tante Ira tetap bergeming. Matanya sama sekali tak menoleh kea rah Dina yang berdiri gelisah di sampinya. Dina sudah nyaris menyerah melihat kebisuan tantenya. Padahal Dina sudah berusaha menerangkan ketidak sengajaan menguping.”
“Tante…. Sekali lagi Dina mencoba. Ia sudah nekat untuk menuntaskan masalah ini. Apapun akibatnya nanti.”
“Kamu yakin mau mendengarnya ? suara Tante Ira hamper-hampir tak terdengar. “Kamu sudah siap untuk menerimannya ?”
“Sebetulnya semua ini tentang apa tante ? Dina mencoba tabah. Padahal saat itu jantungnya sudah berdetak kencang melebihi batas normal. Kenapa semua orang kayaknya sengaja menghindar kalau aku Tanya tentang ini? Siapa Irvan itu, tante? Apa ada hubungannya sama aku? Apa sebetulnya yang nggak boleh aku tahu ?”
“Tante Ira menghela nafas berat. Wajah ayu-nya tak mampu lagi menyembunyikan keresahan hatinya. Duduklah Din!”
“Dina menurut. Ia kian sadar, masalah ini benar-benar serius.”
“Kamu tahu apa alasanku, kenapa aku tak suka kamu pacaran dengan Roy?”
Jantung Dina serasa akan melompat keluar dari rongga dadanya mendengar nama Roy ikut duikaitkan. Jadi benar ketakutannya ini, bahwa masalahnya memang ada hubungannya dengan Roy?
“Aku nggak mau kamu hamil sebelum menikah Din…”
“Tante? Dina kaget bukan main.”
Tante Ira menarik mafas berat. “Aku tak mau kejadian yang sama akan terulang padamu…”
“Apa maksud tante?”
“aku hamil saat usiaku belum mencapai dua puluh tahun. Celakanya dia tak pernah tahu orang tuanya dia keburu mengirimnya ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah di sana. Dan aku kehilangan kontak dengannya, lirih suara tante Dina. Tatapannya jauh menerawang…..”
Ya Tuhan, jadi Tante Ira pernah hamil ? Tak mungkin! Protes Dina dalam hati. Jantungnya berdebar kencang saat sebuah nama mendadak melejit di fikirannya. Apa dia yang dimaksud itu adalah….Irvan?
Tante Ira mengangguk halus “Ya Irvan adalah ayah dari anak yang pernah aku lahirkan. Bayi itu lahir selamat. Bayi perempuan yang sehat dan lucu. Tetapi aku sama sekali tak siap menerima kehadirannya.”
Saat itu aku cuma memikirkan bagaimana caranya aku bisa melanjutkan kuliah. Aku sempat kebungungan dan hamper-hampir putus asa. Untunglah mamamu member jalan lain….”
Samar-samar Dina masih bisa mendengar suara tantenya, “Nama bayi itu ….Dina”
Tiba-tiba keheningan yang dingin seolah membekukan ruangan itu. Dina makin terenyak di kursinya. Tubuhnya bergetar hebat, dan tak satu kata pun yang keluar dari bibirnya yang memucat. Dina merasa dunianya seakan runtuh mendadak dan semuanya jadi jungkir balik berantakan!
Nama bayi itu….Dina. suara itu seperti dating dari kejauhan, membawa gaung yang menyakitkan dan terus mengema di kepalanya…..

Penahapan plot terdiri dari tahap awal (begining), tahap tengah (midle), tahap akhir (end)
a. Tahap Awal
Disebut juga tahap perkenalan yang berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan tahap berikutnya.
Misalnya pengenalan latar, pada nama-nama tempat, pada cerpen ini,

Mama, barusan Dina rebut lagi sama Tante Ira. Biasa, urusan yang itu lagi. Padahal Dina cuma minta sedikit aja pengertiannya soal hubungan Dina sama Roy.
“Akhirnya bulan ini bakal ada acara prom night. Masalhnya lagi-lagi terbentur pada Tante Ira. Dia sama sekali nggak setuju Dina ikut.”
“Dina mengira larangan ini ada hubungannya sama Roy! Mama, apa yang mesti Dina lakukan ? nggak mungkin donk Dina nggak ikut acara itu ? mama tolongin Dina dong….”
“Sampai di situ Dina menghentikan ketikannya. Pandangannya mulai buram tertutup air mata yang mulai merembes keluar. Cewek itu menghela nafas berat. Saat itu ingin rasanya Dina menghambur ke dalam pelukan mamanya, dan menangis sepuasnya.”
b. Tahap Tengah
Disebut juga tahap pertikaian menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya menjadi meningkat dan menegangkan.
Pada cerpen ini,

Malam itu untuk kesekian kalinya Dina memeriksa mail-box nya. Tapi lagi-lagi ia harus kecewa karena tak satu surat pun balasan dari mamanya. Ada apa ini? Apa lebih baik aku langsung tlfon mama? Benar Dina sibuk menimbang-nimbang. Cewek itu masih tegak di depan komputernya, ketika didengarnya suara dering telfon, bergegas Dina keluar kamar untuk menjawabnya.
Langkah Dina saat dering itu berhentidan digantikan suara Tante Ira. Dina sudah berbalik kembali ke kamarnya. Namun lagi-lagi langkahnya terhenti. Dina terdengar jalas tantenya mneyebut nama mamanya. Mama-kah yang telfon? Dina mengurungkan niatnya untuk kembali ke kamar. Lagi pula siapa tahu mama ingin berbicara padanya.
Suara Tante Ira terdengar pelan, nyaris Cuma bisikan. Tanpa sadar Dina semakin mendekat ke balik lemaridan mendekam di situ ia bisa mendengar lebih jelas apa yang tengah dibicarakan. Tak biasanya Dina menguping begitu, tapi entah kenapa saat itu rasa penasarannya memaksa dia bertingkah sekonyol itu.
“Tidak, kak….aku belum siap.”
Belum siap untuk apa? Dina membatin sendiri. Sesaat Cuma sepi yang mengambang.
“Ya, kurasa itu lebih baik. Biarkan Dina menganggapku seperti itu.”
Lho, kok nama ku ikut disebut? Ada apa ini? Dina makin tertarik untuk terus mendengarkan.
“Yang aku dengar memang begitu. Sampai sekarang Irvan belum menikah.”
Irvan? Siapa dia itu?
“Kak Ida tahu, aku memang masih mencintainya. Tapi aku tidak akan melakukannya, Kak! Dia tak perlu tahu soal Dina.”

Pada tahap tengah ini dalam cerpen ketika Dina baru mengetahui alas an dari masalah tersebut.

c. Tahap Akhir
Disebut dengan peleraian menapilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks yang berisi bagaimana kesedihan cerita dan bagaimana akhir disebuah cerita.
Pada cerpen ini akhirnya Dina bisa menyadari dengan apa yang terjadi pada Dina yang baru tahu kalau Dina ternyata tak berbapak, tapi dengan kejadian itu Dina dan Tante Ira tetap masih saying dan lebih menyanyangi lagi.
Bukti pada cerpen ini pada akhir-akhir,

Hangatnya suara itu membuat hati Dina ikut mencair, menyatu dengan kelembutan yang ada. Dina tak tahu siapa yang mulai, tahu-tahu mereka sedah berpelukan erat.
“Kamu tahu Din, sudah lama aku ingin sedekat ini dengan mu.”
“Maafkan Dina,” isaknya dengan bibir gemetar.
“Sst…. Sudah, jangan menangis terus. Nanti malam matamu akan kelihatan bengkak, dan kamu tak bisa menatap Roy-mu… ayo sekarang senyum. Sebentar malam Roy dating menjemputmu.”
“Makasih…Tan…te.” Ragu Dina mengucapkan kata itu.
“Mulai sekarang kamu tak boleh sedih lagi ya…kamu mesti ingat, bahwa aku menyanyangimu.”
“Dina juga saying…..Bunda.” ucap Dina, tak sadar dari mana kata itu tiba-tiba saja muncul dan meluncur enteng dari bibirnya.
“Manis sekali panggilan itu…….”
“Dina kembali merasakan pelukan Tante Ira.” “Terima kasih, Sayang.”
Mereka berpelukan erat. Seolah ingin berbagi kehangatan. Berbagi kebahagiaan dan cinta. Mau tak mau Dina jadi teringat kata-kata Roy.
Ternyata Roy benar, dia sering mengatakan kalau cinta mempunyai kekuatan ajaib. Sebuah kekuatan yang bisa membawa perubahan. Bahkan untuk sebuah cinta yang pernah tertunda lama……

4. Penokohan
Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan penokohan pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang ditampilkan oleh sebuah cerita.
Pada cerpen ini tokohnya yaitu :
1. Dina
2. Tante Ira
3. Mama dan Papa => orang tua Dina
4. Roy => pacar Dina
5. Erni => teman Dina
6. Irvan => kekasih Tante Ira
Penokohan terdapat pada perbedaan tokoh
a. Tokoh Utama
Tokoh utama pada cerpen ini yaitu Dina dan Tante Ira, karena dilihat cirita dari awal Dina selalu muncul dan Tante Ira juga sering keluar.
b. Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan pada cerpen ini yaitu :
1. Mama Papa Dina yang ada di luar negeri, kehadiran tokoh ini ketika Dian ingin Tanya kabar di sana.
2. Rpy, yaitu pacar Dina, tokoh ini muncul ketika Dina membutuhkan teman, walaupun hanya lewat telfon saja.
3. Erni yaitu teman Dina, tokoh ini muncul ketika Dina lagi membutuhkan teman, dikala senang dan susah. Pada cerpen ini Erni muncul ketika Dina ada masalah dengan Tante Ira yang tak mengizinkan mereka untuk pergi ke acara prom night akhir bulan.
c. Tokoh Protagonis dan Antagonis
1. Tokoh Protagonis
Yaitu tokoh yang kita kagumi, tokoh yang merupakan pengejaran tahap norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita, Alfen Biend dan Levis 1996 : 59.
Tokoh protagonis yang ada pada cerpen ini yaitu, Roy dan Erni mereka merupakan teman yang terbaik bagi Dina, sedangkan Dina dia sebenarnya berwatak baik, akan tetapi agak keras kepala. Dia memiliki sikap dan sifat yang besar hati atas segala kebenanran yang belum dia ketahui selama ini.
Maka dari itu wajar saja Dina yang masih remaja, dan keinginan untuk bermain keluar bersama teman-temannya masih menggebu, akan tetapi tekanan dari Tante Ira yang menentang menjadikan Dina sering marah-marah dan murung, keadaan Dina waktu itu sangat jengkel dengan perilaku tantenya.
Kemudian pada Roy sang kekasih dilihat dari perhatiannya dengan Dina, menunjukkan kalau cinta Roy itu benar-benar tulus pada Dina, akan tetapi sikap itu tidak menjadikan jaminan Tante Ira untuk percaya dengan orang lelaki.
Pada tokoh cerita Erni sahabat Dina, dia juga mampu membuat Dina tersenyum, karena persahabatannya yang baik, sehingga dimana ada Dina yang sedang sedih atau suka, Erni selalu ada di sampingnya.

5. Pelataran
Latar atau setting yang berupa tempat, waktu, lokasi.
Pada cerpen ini terdapat latar lokasi,
• Di rumah Tante Ira yang meliputi ruang tamu, kamar Dina.
• Di Singapura/luar negeri tempat orang tua Dina.

Latar waktu berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa-peristiwa itu yang diceritakan pada sebuah karya fiksi.
Pada cerpen ini latar waktu,
• Pada malam hari ketika Dina membuka email dari ibunya ketika Tante Ira menerima telfon dari mamanya Dina.
• Pada sore hari ketika kebenaran itu diceritakan pada Dina.


6. Penyudut Pandangan
Sudut pandang (point of view) menyaran pada cara sebuah cerita yang dikisahkan, ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi.
Pada cerpen ini ada beberapa sudut pandang, yaitu :
a. Sudut pandang pesona pertama “Aku” pada cerpen ini terletak pada tokoh Roy yang sebagai pacar Dina, dimana sudut pandang pertama digunakan ketika Roy berusaha meyakinkan Dina
Bukti cerpen :
“Aku yakin, cinta sejati nggak akan pernah mengecewakan, meski di awal nggak bias berjalan dengan mulus, tetapi pasti akan menembus akhir yang membahagiakan.”

“Aku” yang terletak pada tokoh Dina digunakan ketika berbicara dengan Erin sahabatnya.
Bukti cerpen :
“Aku bingung Er……”
“Aku nggak tega…… makannya aku memilih sekolah di sini.”

“Aku” yang terletak pada tokoh Dina digunakan ketika berbicara dengan Tante Ira.
Bukti cerpen :
“Maaf tante, Aku memang salah.”
“Aku nggak akan datang tante.”

“Aku” yang terletak pada tokoh Tante Ira ketika bersama orang tua Dina yang menceritakan masalah lalunya.
Bukti cerpen :
“Aku sadar, suatu saat Dina harus tahu, tapi jangan sekarang ini.”

“Aku” yang terletak pada tokoh Tante Ira ketika berbicara dengan Dina, dalam menjelaskan kebenaran yang sebenarnya terjadi.
Bukti cerpen :
“Aku nggak mau kamu hamil sebelum menikah, Dina”
“Apa maksud Tante ?”
“Aku hamil saat usiaku belum mencapai dua puluh tahun.”
b. Sudut pandang pesona ketiga. Pada cerpen ini terdapat pada kata “Ia/Dia”. “Ia” merujuk pada Dina.
“Tapi lagi-lagi ia harus kecewa lagi karena tak satupun surat balasan dari ibunya.”

“Ia” merujuk pada Tante Ira.
“Tante Ira itu sebetulnya baik. Dia itu perhatian banget. Cerewet sih iya, tapi Dia tuh nggak pernah lupa sama semua kebutuhanku. Mulai dari makanan sampai ke pembalut. Hebat kan ?”

“Ia” merujuk pada Om Irvan.
“Kak Ida aku tahu, aku memang masih mencintainya. Tapi aku tidak akan melakukan, kak. Dia tak perlu tahu soal Dina.”




7. Bahasa
Bahasa adalah sebuah sistem tanda yang telah mengkonversi yang mempunyai cirri-ciri struktur kebahasaan atau gaya bahasa (style) yang terdapat pada karya tersebut.

8. Simpulan
Dengan menggunakan teori kajian structural dan kajian psikologi dalam menganalisis sebuah karya sastra, penulis dapat mengetahui dan menyimpulkan bahwasanya cerpen ini menceritakan tentang adanya sebab awal dari orang tuanya yaitu hamil di luar nikah, hamil pada usia sebelum dua puluh tahun. Akhirnya anak yang dilahirkan benar-benar dijaga, agar tidak terulang lagi kejadian –kejadian yang tidak diinginkan oleh Tante Ira.
Akhirnya kebenaran itu baru terungkap ketika Dina sekolah SMP, yang begitu banyak tekanan-tekanan yang menjadikan Dina bertanda Tanya besar kepada Tante Ira. Walaupun Dina baru mengetahui akhir-akhir itu, Dina tetap sabar dan ihklas untuk menerimanya, walaupun sebenarnya hati dan hidup Dina tak ada gunanya lagi.
Cerpen ini terdapat nilai- nilai positif dari amanatnya. Dari sini pembaca akan dapat mengambil hikmahnya, khususnya pada remaja-remaja sekarang yang tak tau aturan, sana sini pergi bergandeng cewek dan cowok yang akhirnya belum tau apakah cinta mereka itu benar-benar untuk selamanya atau tidak.
Cerpen ini begitu membangun nilai pada pembaca.








DAFTAR PUSTAKA

Nurgiyantoro, Burhan. 1994. “Teori Semiotik Dalam Kajian Kesusasteraan”. Cakrawala Pendidikan No I Tahun XII, halaman 51 – 66
Nurgiyantoro, Burhan. 1994. “Teori Pengkajian Fiksi”. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Kampus Tercinta, Jakarta “Majalah Gadis”.

PROPOSAL PENELITIAN SASTRA (LENG)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini.
Proposal ini berjudul “LENG : Sebuah Kajian Budaya Jawa” merupakan sebuah usulan penelitian untuk memenuhi syarat menyusun skripsi.
Penulis menyadari karena bantuan dari pihak maka proposal ini bisa terselesaikan. Sebagaimana mestinya pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Winardi, SH, M.Hum, selaku Ketua STKIP PGRI Jombang.
2. Dra. Heny Sulistyowati, M.Hum, selaku Ketua Pusat Penelitian STKIP PGRI Jombang.
3. Susi Darihastini, S.Pd, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
4. Semua staf perpustakaan yang telah banyak menyediakan referensi kepada penulis.
5. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis yang tidak disebutkan disini.
Pada akhirnya penulis berharap kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan proposal ini. Semoga proposal ini dapat memberi manfaat bagi perkembangan Pendidikan Bahasa Indonesia.

Jombang, 1 Mei 2011

Penulis

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 4
1.2.1 Batasan Masalah 4
1.2.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.3.1 Tujuan Umum 4
1.3.2 Tujuan Khusus 4
1.3.3 Manfaat Penelitian 4
1.3.4 Definisi Penelitian 5

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Hubungan Karya Sastra Dengan Budaya 6
2.2 Budaya 8
2.2.1 Definisi Budaya 8
2.2.2 Fungsi Budaya 9
2.3 Pengertian Naskah Drama 10


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Sumber Data Dan Data Penelitian 11
3.2 Cara Kerja Penelitian 11
3.3 Teknik Pengumpulan Data 11

DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Karya sastra pada umumnya tidak pernah melepaskan diri dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat. Karya sastra menampilkan permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan makna (tata nilai) dari situasi sosial dan historis yang terdapat dalam kehidupan manusia.
Karya sastra bukan aspek kebudayaan yang sederhana. Ia merupakan lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, sedangkan bahasa itu sendiri adalah ciptaan sosial. Jadi dapat dikatakan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan yang merupakan kenyataan sosial.
Naskah drama sebagai bagian dari karya sastra dan sebagai produk budaya menampilkan khasanah budaya yang ada dalam masyarakat. Pengarang atau sastrawan tidak hanya menyampaikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat, melainkan juga kearifan-kearifan yang dihadirkan dari hasil perenungan yang mendalam.
Realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang menyakinkan yang ditampilkan, namun tidak selalu kenyataan sehari-hari (Wellek dan Warren dalam Burhan).
Menurut koentjoroningrat budaya berasal dari bahasa sangsekerta yaitu buddayah yang berarti budi atau akal. Kebudayaan berarti hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal (Herusatoto, 1983: 7). Budaya manusia lahir karena adanya perkembangan norma hidup atau lingkaran. Hal ini melahirkan rasa budaya manusia dan jika rasa budaya ini dilaksanan maka terjadi kebudayaan atau budaya manusia.
Wujud kebudayaan mencakup tiga hal. Pertama, wujud budaya sebagai suatu kompleks dari ide atau gagasan, norma, dan sebagainya yang wujudnya berada pada alam pikiran dan dapat pula berupa tulisan tulisan. Kedua, sebagai suatu kompleks aktifitas manusia dalam masyarakat, budaya diwujudkan dalam bentuk sistem sosial masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, wujud kebudayaan berupa benda benda hasil karya manusia. Ketiga wujud kebudayaan ini mengandung unsur universal yang sekaligus merupakan isi dari suatu kebudayaan. Unsur-unsur tersebut sistem realigi dan upacara keagamaan, sistem tegnologi dan peralatan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, dan sistem mata pencaharian hidup (Koentjoroningrat dalam herusatoto, 1983: 8). Unsur kebudayaan yang lebih banyak dibicarakan dalam penelitian ini adalah organisasi kemasyarakatan.
Sarana untuk menciptakan ilusi yang dipergunakan untuk memikat pembaca agar mau memasuki situasi yang tidak mungkin atau luar biasa, adalah dengan cara patuh pada detil-detil kenyataan kehidupan sehari-hari (Burhan/1994:6)
Dari pengertian diatas bahwa karya sastra khususnya naskah drama adalah karya sastra yang memberikan potret-potret kehidupan masyrakat dalam kehidupan sehari-hari, baik itu yang tercermin dalam prilaku tokoh atau budaya yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan selalu menjadi konsen utama bagi seorang penulis, mengingat masyarakat dan budaya adalah sumber segalanya bagi para sastrawan. Gambaran kehidupan dalam karya sastra (naskah drama) hadir dari wujud pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh pengarang dan juga imajinasi pengarang. Pelibatan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh pengarang membuat karya sastra yang diciptakannya tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial budaya yang melatarabelakangi terciptanya karya tersebut. Sastrawan adalah anggota masyarakat, ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra ciptaan sastrawan menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan sendiri adalah suatu kenyataan sosial.
Lakon “LENG” menceritakan tentang PT Bakalan, pabrik yang berdiri di Desa Bakalan yang akan memperluas bangunan pabriknya. Perluasan bangunan PT Bakalan diperlukan untuk peningkatan produktifitasnya. Tanah yang akan digunakan untuk proyek perluasan pabrik adalah tanah penduduk di desa tersebut.
Beberapa tanah warga berhasil dibeli. Sialnya, ada dua tanah di wilayah tersebut yang belum bisa ditaklukkan oleh pabrik yaitu tanah warga milik Kang Bongkrek dan tanah Makam Kyai Bakal yang dijaga juru kunci bernama Pak Rebo.
Bongkrek enggan melepas tanahnya karena tanah tersebut adalah tanah warisan leluhurnya, Sementara tanah Makam Kyai Bakal yang dijaga Pak Rebo sulit ditaklukkan karena mitosnya dipertahankan banyak pihak.
PT Bakalan melakukan berbagai cara untuk menaklukkan tanah tersebut secara persuasif maupun dengan kekerasan. Tanah milik Bongkrek berhasil dikuasai dengan cara kekerasan. Dengan cara halus tanah Makam Kyai Bakal akhirnya terkuasai bahkan menjadi asset berharga meraih keuntungan.

1.2 Permasalahan
1.2.1 Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam penilitian ini perlu adanya pembatasan masalah, yakni “LENG : Sebuah Kajian Budaya Jawa”
1.2.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran budaya jawa dalam naskah drama LENG ?
2. Bagaimana kehidupan masyarakat jawa dalam naskah drama LENG ?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan Budaya Jawa dalam naskah drama LENG.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bermaksud :
1. Mendeskripsikan gambaran budaya Jawa dalam naskah drama LENG.
2. Mendeskripsikan kehidupan masyarakat Jawa dalam naskah drama LENG.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai tambahan khasanah ilmu pengetahuan khususnya bidang sastra yang mempunyai korelasi dengan kebudayaan jawa
2. Dapat memberikan sumbangan informasi kepada khalayak umum khususnya para pemerhati budaya jawa di era modern sekarang ini

1.5 Definisi Penelitian
a) Nilai-nilai budaya Jawa maksudnya seperti budi luhur, lembah manah, tepa slira, dan nilai sebagainya. Nilai-nilai yang bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman dalam kehidupannya dengan terlahirkan sikap rukun, saling menghormati, menghargai dan menghindari konflik (Hadiatmaja, 2009: 33).
b) Naskah drama LENG karya Bambang Widoyo SP menceritakan tentang terdesaknya masyarakat keil di sebuah desa melawan gelombang modernisasi dan industri yang menjadi kepanjangan, kuku pencakar para penguasa, dan pemilik modal besar, tentang rusaknya lingkaran hidup, tentang hukum yang menjadi barang mainan pihak yang kuat dalam masyarakat, tentang pengorbanan sevara paksa di pihak rakyat kecil untuk kepentingan kelompok kecil (elit) yang mengatasnamakan ’pembangunan’.









BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Hubungan Karya Sastra Dengan Budaya
Karya sastra merupakan hasil cipta dari masyarakat, karya sastra dapat lahir dan hidup ditengah-tengah masyarakat berdasarkan aspek penerimaan secara rasional dan emosional dari pembaca karya sastra tersebut. Hubungan antara karya dan masyarakat dapat dipengaruhi oleh suatu karya sastra dan karya sastra merupakan cerminan dari kondisi masyarakat. Masyarakat sebagai tempat hidup pengarang akan mempengaruhi pengarang dalam menghasilkan karya sastranya sehingga dapat dikaitkan bahwa masyarakat berpengaruh besar serta ikut menentukan apa yang ditulis oleh pengarang, bagaimana menulisnya, apa tujuannya, dan untuk siapa karya sastra itu ditulis, akibatnya karya sastra yang merupakan produk dari anggota masyarakat akan mencerminkan dinamika kehidupan masyarakat ata sebaliknya yang dijadikan cermin oleh masyarakat (Damono, 1978: 3-4).
Salah satu konsep teori yang lahir sebagai akibat terjalinnya hubungan antara karya sastra dengan masyarakat merupakan sepenggal kenyataan yang muncul dalam karya sastra. Hal ini sesuai dengan konsep teori yang dikemukakan oleh Weellek, dalam Badrun, (1983: 17) bahwa karya sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan, tetapi tidak benar kalau dikatakan bahwa pengarang mengekspresikan kehidupan kehidupan secara keseluruhan, atau kehidupan jaman tertentu secara kongkret dan menyeluruh.
Masyarakat disamping sebagai penentu keberadaan karya sastra juga menjadi sumber inspirasi pengarang untuk menciptakan karya sastra. Memahami karya sastra berarti memahmi suatu kehidupan sosial. Hal ini bermakna, bahwa kajian tentang sastra akan terkait dengan kajian tentang manusia, tentang kehidupan, tentang budaya, tentang ideologi, tentang perwatakan, bahkan tentang hal lain yang lebih luas yang terkait dengan kehidupan manusia.
Hubungan kedekatan antara karya sastra dengan masyarakat ini melahirkan studi sosiologi sastra yaitu pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 1978: 2). Artinya sosiologi sastra merupakan upaya menemukan kenyataan sosial dalam karya sastra. Sastra bersifat sosiologis harus menghadirkan unsur-unsur kemayarakatan dadalamnya.
Sosiologi sastra sebagai ilmu memiliki kajian. Wellek dan Werren dalam Damono (1978: 3) membuat klasifikasi bagan sosiologi sastra menjadi tiga bagian. Pertama sosiologi pengarang yang membahs tentang status sosial pengarang, ideolodi pengarang, serta hal-hal yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang menelaah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra mengkaji tentang pembaca serta pengarus sosial karya sastra.




2.2. Budaya
2.2.1. Definisi Budaya
Untuk membedakan manusi dengan makhluk lainnya dapat dilihat dari perilakunya sebagian besar dikendalikan oleh budi atau akalnya. Kata budaya berasal dari kata sansekerta, yaitu buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi atau akal.
Kalau kata budaya diruntut dari kata majemuk berasal dari kata budi dan daya atau kekuatan dari akal, akal atau budi itu mempunyai unsur unsur budi itulah yang disebut dengan kebudayaan. Atau dengan kata lain kebudayaan adalah hasil karya dari cipta, rasa, dan karsa. Hasil hasil kebudayaan dapat terwujud bangunan bangunan candi, rumah adat, dan gedung gedung pencakar langit dan non materi misalkan adat istiadat, religi dan kepercayaan.
mengenai definisi kebudayaan, berikut ini akan diberikan beberapa contohnya. Orang yang pertama kali merumuskan definisi kebudayaan adalah E.B.Taylor (1832-1917), guru besar antropologi di Universitas Oxford pada tahun 1883. Pada tahun 1871, E.B. Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut "Kebudayaan adalah mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat".


2.2.2. Fungsi Budaya
Dalam UUD 1945 pasal 32 disebutkan bahwa pemerintah memajukan kabudayaan nasional Indonesia dan penjelasannya menjelaskan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia ialah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budi daya seluruh rakyat Indonesia.
Sementara itu, kebijakan pemerintah dalam bidang kebudayaan telah ditetapkan dalam GBHN yaitu seperti pembinaan kesenian daerah, bahasa daerah, bahasa Indonesia, disiplin nasional,nilai-nilai budaya, usaha pembaharuan bangsa dan lain sebagainya. Oleh karena itu fungsi dari kebudayaan adalah sebagai berikut :
1) Alat atau media yang mencerminkan cipta, rasa, dan karya leluhur bangsa, yang unsur-unsur kepribadiaanya dapat dijadikan suri tauladan bangsa kina dan yang akan datang dalam rangka pembinaan dan mengempangkan budaya nasional.
2) Alat atau media yang memberikan inspirasi atau ekselersi dalam pembangunan bangsa baik materiil maupun spiritual sehingga tercapai keharmonisan diantara keduannya.
3) Objek ilmu pengetahuan dibidang sejarah dan kepurbakalaan pada khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
4) Alat atau media untuk memupuk saling pengertian dikalangan masyarakat dan bangsa seta umat manusia memaluli nilai-nilai sosila budaya yang terkandung oleh peninggalan sejarah warisan budaya masa lalu.
2.3. Pengertian Naskah Drama
Naskah drama (lakon) pada umumnya disebut scenario, berupa susunan (komposisi) dari adegan adegan dalam penuangan sebagai karya tulis, biasanya memiliki keterbatasan sesuai dengan fitrahnya.
Seni drama modern di Indonesia menurut Rendra seperti yang telah dikutip Syamsul Edeng Ma’arif tim kehadirannya timbul dari golongan elit yang tidak puas ndengan komposisi drama rakyat dan seni drama trdisional. Naskah sandiwara mulai sangat dibutuhkan, karena dialog yang dalam dan otentik dianggap sebagai mutu yang penting.
Naskah drama adalah suatu cerita drama dalam bentuk dialog atau dalam bentuk Tanya jawab antar pelaku. Sedangkan penyajiannya melalui dialog dan gerak para pelaku dari sebuah panggung kepada penoton.
Biasanya naskah drama ditulis untuk kepentingan pementasan yang diangkat dari isu-isu yang terjadi dalam masyaraktf. Namun ada juga naskah drama yang berupa adaptasi dari novel, puisi, cerpen dan karya sastra yang dapat diadaptasi yang dari keseluruh cerita itu di tulis ulang menjadi naskah drama.
Naskah drama (lakon) merupakan penuangan dari ide cerita kedalam alur cerita dan susunan lakon. Seorang penulis naskah drama dalam proses berkaryanya bertolak dari tema cerita. Tema itu ia susun jadi sebuah cerita yang terdiri dari peristiwa-peristiwa, yang memiliki alur yang jelas dengan ukuran dan panjang yang perhitungkan menurut kebutuhan sebuah pertunjukan. Bisa untuk satu jam duan jam atau lebih. Karena itu dalam penyusunannya harus berpegang pada azas kesatuan (Unity). ( http://bismirindu.wordpress.com/tag/drama/ )
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Sumber Data Dan Data Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa naskah drama yang berjudul LENG karya Bambang Widoyo SP yang peneliti memulai penelitiannya mulai halaman 65 sampai akhir sebagai objek penelitian.

3.2. Cara Kerja Penelitian
Untuk menganalisis naskah drama LENG penulis melakukan dengan pembacaan heruistik, pembacaan hermeneutik (Riffaterre, 1978: 5-6) serta menonton pementasan naskah drama LENG.
Pembacaan heruistik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaan atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Dalam pembacaan heruistik ini penulis membaca berdasarkan struktur kebahasaan.
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heruistik dengan memberikan konvensi sastranya.

3.3. Teknik Pengumpulan Data
Langkag-langkah yang dilakukan dalam penelitian adalah:
1. Membaca naskah drama LENG
2. Metode mendiskripsikan adalah metode yang digunakan untuk mencari data dengan cara mendeskripsikan data yang telah diperoleh.
3. Metode riset perpustakaan adalah metode yang digunakan untuk mecari dan menelaah berbagai buku sebagai bahan pustaka yang digunakan untuk sumber tertulis. Sember data primer dalam penelitian ini adala naskah drama LENG. Sumber data sekunder adalah buku-buku yang terkait dengan teori sastra yang menunjang penelitian ini.


















DAFTAR PUSTAKA


http://jogjanews.com/id/2010/07/19/pentas-leng-teater-gajah-mada-dengan-teater-menghidupkan-persoalan-hidup/

http://bismirindu.wordpress.com/tag/drama/

Herusatoto, Budiono. 1983. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita.

Damoni,sapardi Djoko, 1984, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yokyakarta: Gajah Mada Univercity